Mohon tunggu...
Adie Sachs
Adie Sachs Mohon Tunggu... Penulis - Hanya Itu

Happy and Succesfull... #Alert #Reveal

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Restu untuk Emon dan Andil Kita Bunuh RK

7 Mei 2014   23:22 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:45 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Apa jadinya negara ini jika tanpa anak anak yang sehat secara jasmani dan rohani? Mungkin kita adalah bagian dari virus penyebar kekerasan pada anak, baik fisik maupun psikis. Tanpa sadar, kita adalah monster bagi masa kanak-kanak yang seharusnya penuh keceriaan itu.

Dengan alasan ekonomi, orang dewasa sibuk mencari uang dan uang, agar anaknya tidak kelaparan, tidak merasa minder, atau bahkan tidak menangis. Orang dewasa cenderung lupa memperhatikan perkembangan pribadi dan sifat anak karena fokus pada materi. Dan parahnya, kita lupa memperhatikan lingkungan kita, tempat dimana seharusnya si anak berinteraksi dan berkembang dengan baik.

Lingkungan kita dan perilaku kita sendiri mungkin bagian dari penyubur peningkatan kekerasan dan pelecehan pada anak hingga sebesar 20-30 persen per tahun. Kita tidak sadar bahwa itu adalah andil dari kita sendiri. Kita adalah virus itu, atau kitalah wadah sang virus?

Pernahkah kita tanpa sadar telah saling bertengkar dan berkata kasar dengan sesama orang dewasa tanpa memikirkan bahwa ada anak-anak mendengarkan kita?

Apa yang kita perbuat ketika bercumbu diatas motor keliling kampung/kota sementara anak kecil sedang bermain di halaman?

Bagaimana dengan seorang ibu yang rebutan remote TV, demi sinetron, dengan anak yang seharusnya didampingi membaca cerita 1001 malam?

Soal hukuman Mati.

Upaya kita untuk melindungi anak dari perbuatan cabul mungkin tidak sepenuhnya linier dengan kegeraman yang kita rasakan. Rasa marah seketika membuat kita mungkin menginginkan dan meminta supaya para pelaku kekerasan seksual pada anak dihukum mati. Kita berharap Dewan Perwakilan Rakyat segera merevisi Undang-Undang Perlindungan Anak Tahun 2002. Dimana salah satu poin yang paling krusial adalah ancaman hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak paling maksimal 15 tahun penjara.

Apakah itu kurang? Ataukan terlalu ringan dibandingkan dengan hak korban untuk tumbuh dan berkembang?.

Masalahnya bukan pada pencantuman pasal hukuman matinya, melainkan penerapan hukum mati itu sendiri yang akan menuai pro-kontra.

Pilih Aceng Fikri jadi DPD?

Untuk memperkuat argumen bahwa kita adalah bagian dari virus itu, saya mencontohkan perilaku kita yang lain. Seperti kita ketahui, mantan Bupati Garut Aceng Fikri lolos menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) 2014. Bagaimana mungkin kita selaku masyarakat masih percaya kepada mantan pejabat yang terjerat kasus pernikahan siri dengan anak di bawah umur itu.

Ini menunjukkan bahwa kita sendiri tidak peka, bahkan mendukung pelecehan pada anak. Karena kita menunjukkan bahwa kita hanya melihat akibat tanpa kecerdasan meminimalkan sebab. Sedikit banyak, Aceng Fikri akan menjadi penghambat politik di Senayan dalam urusan revisi UU untuk memperberat hukuman bagi pelaku pelecehan baik perkawinan, seksual, apalagi pada anak?

Apa yang bisa kita harapkan dari wakil seperti Aceng Fikri jika kita selaku masyarakat ternyata masih seperti itu, tidak bisa cerdas dalam memilih perwakilan.

Hak Azasi yang kontradiktif.

Atas nama hak berpolitik, kita hanya berharap perilaku Aceng dapat berubah saat menjadi anggota DPD dan dapat menyalurkan aspirasi daerah yang diwakilkan. Namun, bolehkah kaum perempuan menaruh harap pada Aceng agar dapat memperhatikan kepentingan perempuan dan anak-anak?.

Boleh jadi para pemilih tidak mengenal latar belakang Aceng, meski saya ragu akan hal itu karena Aceng bukan dari Dapil luar Jawa Barat. Anggota DPD memang bukan DPR yang membuat UU, tetapi tetap saja namanya "Wakil". Hak berpolitik Aceng dan Hak tumbuh kembang anak anak itu menjadi kontradiktif. Karena kita permisif?

Sekarang Prabowo Pada Calon Presiden penuh Kekerasan?

Contoh lain perilaku kita yang menghancurkan masa depan anak anak adalah membiarkan pelaku kekerasan sebagai calon pemimpin kita. Berlindung dibalik dan atas nama hak azasi sebagai warga negara untuk mencalonkan diri jadi sebagai presiden, kita ternyata juga sangat permisif pada pelanggar HAM. Sebagian kita menginginkan seseorang yang rekam jejaknya sangat buruk seputar pelanggaran Hak Azasi Manusia.

Kematian Renggo Kaddafi yang diduga oleh sebab dipukuli kakak kelasnya, padahal usia mereka masih teramat belia. Mahasisws STIP juga mengalami hal yang sama oleh seniornya, adalah bentuk andil dari kita selaku virus kerusakan masa muda anak anak itu. Mengkambinghitamkan acara televisi mungkin lebih mudah, namun sadarkah kita telah mendukung perilaku kekerasan melalui cara kita memilih pemimpin?

Banyak yang merindukan kenikmatan era Soeharto, entah apa nikmatnya jika menulis puisi saja sudah hilang nyawa tak berjejak?

Melalui sosok Prabowo Subianto, para pemimpi kenyaman itu berharap bisa tidur nyenyak diatas bangkai saudaranya yang entah dimana rimbanya. Meski bukan pelaku tunggal, Prabowo akan kesulitan menyelesaikan masalah pelanggaran HAM masa lalu. Apalagi Prabowo adalah tipe orang yang terlibat dosa masa lalu, dan enggan untuk membuka perilakunya sendiri.

Prabowo tidak pernah menjelaskan posisinya atas penculikan 13 orang aktivis pada 1998 harus segera diselesaikan. Penyelesaian masalah tersebut, diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, dimana tiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. Adalah tugas berat presiden terpilih nantinya untuk harus dapat menyelesaiakan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Termasuk yang dilakukan Prabowo. Lalu bagaimana jika PS sendiri yang jadi? Apakah ia akan mengadili dirinya sendiri terlepas dari terlibat atau tidak? Siapa yang akan percaya hal itu?

Penculikan dan penghilangan nyawa secara paksa, adalah pelanggaran HAM. Apalagi jika menggunakan instrumen dan lambang negara tanpa ketetapan pengadilan, semisal vonis hukuman mati.

Secara garis besar, Bukankah dengan memilih seorang Aceng Fikri dan mencalonkan seorang yang terbelit masalah HAM adalah kesalahan kita? Kita dan pilihan kita yang seolah merestui dan memberikan tempat pada tersedianya sarana untuk pelecehan seksual, kekerasan antar anak.

Karena kita sendiri yang memilih wakil yang berwenang membuat aturan. Atau bahkan calon eksekutor peraturan. Seorang calon presiden, terlepas dari benar atau tidak dia seorang pelanggar HAM, seharusnya orang yang masa lalunya meragukan, abu-abu, penuh kekerasan seperti ini tidaklah layak menjadi pimpinan ekskutif.

Jadi masihkah kita pantas marah pada pelecehan seksual anak itu? Atau pembunuh temannya itu? Lalu bagaimana kita memilih dan bercermin pada perilaku kita pada pengawasan lingkungan, pembuat kebijakan, menentukan perwakilan di ranah lebih luas?

=Sachsâ„¢=

#Sebelumnya Terhapus?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun