Rakyat, - mudah mengatasnamakannya - yang memilih dan yang tidak memilih Jokowi merasa memiliki hak atas presiden. Presiden harus membayar jasa mereka yang memilihnya dengan berpihak pada rakyat. Meski sebagian rakyat tidak sadar bahwa mereka telah tergiring opini sepihak oleh kaum oportunis yang tidak menyukai kepolisian yang kuat.
Rakyat hanya melihat hitam - putih, masalah BG seolah hanya rekening gendut, menjadi tersangka korupsi dan pasti tidak layak. Lihat... betapa Jokowi adalah pengkhianat jika tidak mengikuti keinginan itu?!.
Pengkhianat relawan, pendukung buta dan penumpang gelap.
Atas nama rakyat, banyak pendukung semasa kampanye merasa dikhianati Jokowi. Serasa pemilik saham dengan duduknya Jokowi di kursi RI-1, ini adalah saat yang singkat bagi presiden untuk membayar janji kampanyenya. Presiden harus memerangi korupsi, maka presiden harus berpihak pada KPK. Pada keinginan mereka agar presiden mengintervensi hukum. Mengalah pada status yang disematkan pada seorang jenderal oleh KPK.
KPK harus diperkuat dan kebal dari upaya kriminalisasi, meski itu berarti membiarkan komisioner KPK bebas dari dosa-dosanya. Mereka lupa bahwa Polri juga perlu dibersihkan. Pendukung buta dan penumpang gelap hanya mencoba memperpanjang masa busuk Polri. Untuk kepentingan masing masing. Siapa yang tidak diuntungkan dengan lemahnya Polri?
Kepolisian ada di hampir setiap sudut negeri ini. Jika hukum ditegakkan dengan benar oleh kepolisian yang bersih, siapa yang kesulitan melanggar lalu lintas? Siapa yang mudah menyeludup? Menjual narkoba? Atau berbuat kriminal lainnya?.
Polri yang lemah adalah kepentingan rakyat juga. KPK yang kuat bukan ketakutan rakyat, karena rakyat hanya perlu takut korupsi tapi tidak dengan tindak pelanggaran lainnya. Agar mudah melanggar hukum lainnya, atas nama rakyat tanpa sadar digunakan agar Polri tetap terbeli.
Pengkhianat Hukum,
Kasus BG dan hingar bingarnya mobilisasi dukungan bagi tersangka versi Polri , Bambang Widjojanto, adalah peristiwa hukum yang kemudian jadi peristiwa konflik antar institusi. Banyak pro dan kontra yang menyusul. Mulai dari ahli tata negara hingga pengamat kacangan sepertinya berlomba menunjukkan eksistensinya.
Meski ujung ujungnya mereka kemudian menjurus pada kesimpulan "keputusan di tangan presiden". Namun mereka tidak menawarkan solusi yang meyakinkan. Hanya sekedar argumentasi yang tidak berujung dan abu-abu. Tampaknya Jokowi hanya terkesan sebagai pengkhianat hukum meski sang presiden mengatakan "biarkan proses hukum berjalan".
Ternyata proses hukum inipun tetap tidak memuaskan semua pihak. Hasil instan dan sesegera mungkin dituntut karena sejumlah pihak lain khawatir pada kemampuan presidennya. Atau mereka punya kepentingan lain?