Dulu saya menganggap bahwa dividen adalah "bonus" dari investasi saham. Maklum, keuntungan yang dihasilkan dari dividen masih kalah jauh ketimbang keuntungan dari capital gain.
Jika ada saham bagus yang rajin membagikan dividen, seperti BBCA, BMRI, BBNI, atau BBRI, maka bisa dilihat bahwa yield-nya paling-paling di bawah 5 persen.
Tentu rasanya kurang puas apabila kita membeli saham tersebut dengan mengharapkan keuntungan dari dividen sebesar itu, sebab nilai yield-nya masih kalah dari sukubunga Bank Indonesia (BI) yang sekarang sudah menyentuh angka 6%.
Alhasil, ketimbang di saham, bukankah akan jauh lebih baik jika kita simpan saja dana kita di instrumen investasi lain yang jauh lebih aman, macam deposito atau obligasi pemerintah yang menawarkan bunga yang jelas lebih besar?
Meski begitu, setelah berinvestasi di pasar saham sekian tahun, saya merasa bahwa anggapan saya sebelumnya kurang tepat. Alasannya ada beberapa.
Memang betul, kalau sekarang kita membeli saham dengan fundamental yang solid dan bagus maka kita mungkin saja bakal mendapat dividen yang nilainya di bawah sukubunga BI.
Namun, dalam jangka panjang, situasinya bakal berbeda. Sebab, nilai dividen tersebut bisa bertumbuh seiring berkembangnya perusahaan. Jadi, jangan sedih kalau pada tahun ini, kita cuma memperoleh yield 3% saja. Pada tahun-tahun berikutnya, mungkin saja, yieldnya bakal naik jadi 4%, 5%, 6%, dan seterusnya.
Berbeda dengan sukubunga bank atau kupon obligasi yang kenaikan yield-nya terbatas, pertumbuhan dividen bisa tanpa batas. Semua itu bisa terjadi asalkan kita bersedia memegang saham dalam jangka amat panjang, katakanlah di atas 5 tahun.
Jelas hal tersebut membutuhkan kesabaran yang besar. Pasalnya tidak semua orang sanggup menyimpan saham selama bertahun-tahun tanpa terusik untuk menjualnya, terlebih setelah saham tersebut juga memberikan capital gain yang nilainya lumayan jumbo.
Alasan lainnya, dividen adalah satu-satunya bukti bahwa perusahaan benar mencatatkan keuntungan. Walaupun ada kasus-kasus tertentu yang bisa disebut sebagai "anomali", namun pada umumnya, hanya perusahaan yang memperoleh laba yang berhak membagikan dividen.
Besaran dividen yang disetorkan seharusnya sejalan dengan besaran laba yang diterima. Jika tidak, maka kita bisa menganggap bahwa dividen yang diberikan cuma sebuah "formalitas".Â
Sebab, ada sebuah perusahaan yang labanya terus meningkat, tapi besaran dividennya segitu-segitu saja setiap tahun.
Dividen tadi disetorkan demi memberi kesan bahwa perusahaan tersebut rutin membagikan dividen, bukan demi menguntungkan pemegang sahamnya. Bukankah itu adalah sesuatu yang aneh?
Alasan berikutnya, dividen adalah "upah tunggu" sebelum kita bisa memetik keuntungan dari capital gain. Kecuali kamu adalah seorang trader yang berambisi mengejar keuntungan dari kenaikan harga saham yang sedang trending, maka seorang investor yang mengutamakan dividen terkadang harus menunggu lama agar harga saham yang dimilikinya diapresiasi oleh market. Selagi menjalani masa tunggu tersebut, investor tentu mengharapkan hasil yang bisa diperoleh. Dividenlah jawabannya.
Alasan selanjutnya, dividen merupakan "bantalan" untuk mengantisipasi kejatuhan harga saham.
Apabila kamu bukan "bandar" yang punya dana yang sangat jumbo, maka kamu akan sulit "mengendalikan" dan "mengerek" harga saham sesuka hati.
Maka, jangan heran, harga saham berubah terus setiap hari tanpa kendali. Ada kalanya, bukannya naik, saham yang kamu pegang turun harganya, dan kamu "nyangkut" sekian puluh persen.
Dalam situasi semacam itu, kehadiran dividen bisa meminimalkan risiko yang kamu tanggung. Sebab, kalau harga saham tadi tidak pulih seperti sebelumnya, maka kerugian kamu bisa ditutupi oleh pembagian dividen yang bakal kamu terima setiap tahun. Jadi, kalaupun tidak untung, investasi saham kamu juga tidak akan rugi.
Dividend Yield Besar Saja Tidak Cukup
Seperti halnya investor lain, saya tentu ingin memiliki saham dengan dividend yield yang besar. Semakin besar yieldnya tentu semakin baik.
Namun, belakangan, saya melihat bahwa dividend yield yang besar tidaklah cukup. Saham-saham yang menawarkan dividend yield yang besar "biasanya" memiliki bisnis yang sedang menurun.
Sebut saja saham-saham batubara, yang saat artikel ini ditulis bisa memberikan yield di atas 10%. Yield sebesar itu memang terlihat menggiurkan. Bertapa tidak, hanya dengan membeli sahamnya sekarang, kita sudah memperoleh untung di atas 10%.
Namun, pada tahun-tahun berikutnya, kondisinya bisa berubah. Kalau pada tahun ini kita terima yield 10% maka tahun depan mungkin cuma tersisa 9%, 8%, 7%, dan seterusnya.Â
Penurunan nilai dividen yang diperoleh jelas sejalan dengan harga batubara yang cenderung amblas, sehingga jangan kecewa kalau-kalau bukan hanya besaran dividennya saja, namun harga sahamnya pun bisa ikut turun sehingga apabila terus memegang sahamnya maka kamu bisa mengalami loss yang lumayan dalam.
Sebaliknya, kita tentu ingin membeli saham yang nilai dividend yield-nya terus bertambah setiap tahun. Tidak masalah jika pada tahun ini cuma terima yield 6%, tapi pada tahun berikutnya nilai yield-nya terus meningkat menjadi 7%, 8%, 9%, dan seterusnya.
Menemukan saham demikian sebetulnya gampang-gampang susah. Caranya kita mesti rajin-rajin membaca laporan keuangan.Â
Dengan membedah isi laporan keuangan, kita tak hanya bisa memahami model bisnis perusahaan, tapi juga mampu "meneropong" prospek pertumbuhan dividennya.
Tentu kita tidak harus punya latar belakang pendidikan di bidang ekonomi, bisnis, atau akuntansi untuk bisa mengerti laporan keuangan. Di luar bidang itu juga memungkinkan asalkan kita rajin dan teliti membaca laporan keuangan.
Ada sejumlah kriteria yang mesti kita cermati saat "menyelami" laporan keuangan dan dokumen penting lainnya. Di antaranya ialah asal-usul laba yang berhasil dibukukan oleh perusahaan.Â
Laba yang bagus adalah laba yang berasal dari hasil operasional perusahaan, bukan dari hasil jualan aset, selisih kurs, atau hasil usaha lain di luar inti bisnis perusahaan. Sebab, jenis laba tersebut sifatnya temporer, sehingga belum tentu terjadi lagi tahun depan.
Kriteria lain, perhatikan "sejarah" pembagian dividen yang dilakukan perusahaan dalam beberapa tahun terakhir. Dengan mencermati "sejarah" tersebut, kita tak hanya bisa melihat pertumbuhan dividen pada masa lalu, tapi juga bisa mengetahui kestabilan Dividend Pay Out Ratio-nya. Dividend Pay Out Ratio (DPR) adalah rasio yang membandingkan antara jumlah dividen per saham dan laba per saham. Masing-masing perusahaan mempunyai DPR yang berbeda bergantung pada kondisi keuangan yang dimiliki.
Perusahaan yang bisnisnya sudah "mature" (matang) umumnya memiliki DPR hingga mencapai 100%. Itu artinya perusahaan membagikan 100% laba kepada pemegang saham tanpa menyisakan sedikitpun dana untuk mengembangkan usaha.
Untuk perusahaan demikian, besaran DPR hingga 100% terasa wajar karena manajemen mungkin tidak melihat ruang untuk ekspansi, atau dengan kas yang tersedia, sudah bisa melakukan ekspansi tanpa harus mencadangkan dana.
Sebaliknya, perusahaan yang bisnisnya sedang "growing" (bertumbuh) biasanya mempunyai DPR maksimal 50-60%. Hal itu bisa terjadi karena perusahaan masih membutuhkan dana untuk mengembangkan bisnis.
Ketimbang harus mencari sumber pembiayaan lain, seperti meminjam ke bank atau menerbitkan obligasi, yang jelas-jelas bakal berisiko menggerus laba dalam jangka panjang, maka lebih baik perusahaan menggunakan sebagian laba untuk keperluan ekspansi, dan selebihnya memberikannya kepada investor dalam bentuk dividen.
Kriteria berikutnya, hindari perusahaan yang rutin melakukan "right issue". "Right issue" adalah upaya menambah modal dengan menerbitkan saham baru.
Apabila "right issue" sesekali dilakukan, sebetulnya tidak apa-apa. Asalkan kita bersedia menebus "right issue" tersebut, maka besaran dividen yang kita peroleh tidak akan terdilusi.
Namun demikian, ada perusahaan-perusahaan tertentu yang sebentar-sebentar meminta modal dari para investornya.
Perusahaan jenis ini biasanya mempunyai fundamental yang lemah, sehingga sumber pendanaan dari pihak lain seperti bank tidak dapat dilakukan (pihak bank mungkin tidak bisa menyalurkan kredit karena meragukan fundamental perusahaan tersebut). Maka, jalan termudah yang bisa diambil adalah dengan melakukan "right issue".
Saya menghindari saham perusahaan-perusahaan demikian karena saya menilai bahwa perusahaan yang memiliki fundamental yang bagus lebih banyak mengandalkan modalnya sendiri ketimbang meminjam dari pihak lain atau meminta modal dari para investornya.
Kriteria selanjutnya? Sebetulnya masih ada. Namun, karena tulisan ini sudah terlalu panjang, saya bakal bahas pada kesempatan lain. Terima kasih karena sudah membaca sampai habis.
Salam hangat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H