Sebagai destinasi wisata kelas dunia, Candi Borobudur belum sepenuhnya "ramah" terhadap transaksi elektronik, khususnya yang pembayarannya menggunakan QR Code. Setidaknya itulah yang saya lihat sewaktu saya berkunjung ke sana dalam rangka merayakan Waisak pada tanggal 5 Juni 2023.
Semua itu bermula saat saya baru saja selesai melakukan Puja Bakti Detik-detik Waisak di pelataran Candi Borobudur, dan kemudian ingin keluar. Untuk mencapai pintu keluar, terlebih dulu saya mesti melalui selasar, yang di kanan-kirinya berjejer pedagang UMKM, yang menjual berbagai jenis barang, semisal kaos, baju anak-anak, asesoris, makanan, dan minuman.
Karena selasar tadi cukup panjang dan kebetulan cuaca sedang panas-panasnya, maka saya mampir ke sebuah kios kecil yang menjual es kelapa. Rasanya tentu bakal sangat nikmat meminum es kelapa di tengah suasana yang begitu gerah.
Apalagi tubuh saya juga lumayan pegal setelah sebelumnya berjalan kaki sekitar 4 km dari Candi Mendut ke Borobudur untuk Prosesi Waisak. Mungkin dengan sedikit rehat, stamina yang habis bisa terisi kembali. Demikian pemikiran saya.
Ibu-ibu yang menjaga kios tersebut kemudian segera menyiapkan es kelapa yang saya pesan. "Harganya 7.000, Mas," katanya.
"Bayarnya bisa pakai g****?" Saya bertanya.
Ia melihat saya dan tersenyum. "Maaf, belum bisa mas."
Untungnya, saya membawa uang tunai di dompet, dan kemudian mengeluarkan duit pecahan 50.000. Namun, ibu-ibu tadi menolak. "Maaf, ada uang kecil, mas? Belum ada kembaliannya."
Karena saya juga tidak ada uang pas, maka saya melipir ke kios tetangga. Di situ ada yang berjualan nasi pecel. Saya pun membeli nasi pecel dengan harapan memperoleh uang kembalian untuk membayar es kelapa tadi.