Gereja Ayam mulai dibangun pada tahun 1913, dan rampung 2 tahun kemudian. Kemunculan gereja ini dimaksudkan sebagai kritik sosial terhadap Pemerintah Hindia Belanda.Â
Maklum, pada waktu itu, tidak semua umat kristiani bisa bebas beribadah, karena hanya kalangan pejabat dan orang kelas atas yang bisa melakukannya.Â
Mereka biasanya melakukan kebaktian kristen di Gereja Imanuel, sementara rakyat biasa tidak diperbolehkan beribadah di tempat tersebut. Alhasil, dibangunlah Gereja Ayam demi mengakomodasi rakyat biasa yang ingin melangsungkan ibadah.
Meski sudah berumur lebih dari 100 tahun, namun nuansa Kolonial masih terasa kental di Gereja Ayam. Wajar, dinding, ubin, dan tempat duduknya masih dipertahankan seperti awal berdiri.Â
Di samping itu, terdapat pula benda lain, yang menyimpan nilai historis yang tinggi, seperti Alkitab yang berusia 100 tahun lebih dan bertuliskan bahasa Belanda.
***
Dari kunjungan ke rumah ibadah tadi, kita jadi tahu bahwa kebhinekaan sebetulnya sudah terbentuk, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Hal ini menjadi bukti bahwa leluhur-leluhur kita bisa hidup akur di tengah banyaknya perbedaan.Â
Bukankah ini sesuatu yang indah dan damai? Bukankah ini seharusnya menjadi sikap hidup yang selayaknya dipertahankan dan dilestarikan?
Salam.