Silakan cari kasus pernikahan anak di Indonesia, dan akan muncul lusinan berita yang memperlihatkan hal tersebut.
Satu contoh teranyar yang menunjukkan kasus tersebut ialah pernikahan anak yang terjadi di Sulawesi Selatan pada Bulan Desember 2022 kemarin. Kedua anak yang dinikahkan tersebut masih di bawah umur 18 tahun, dan jelas hal itu bertentangan dengan norma sosial dan aspek kesehatan.Â
Pernikahan anak jelas mempunyai sejumlah risiko. Di antaranya ialah ketidaksiapan organ reproduksi wanita dalam melahirkan anak, serta potensi anak terlahir cacat.
Hal ini sebetulnya sempat disinggung di film Dua Garis Biru. Ada adegan yang menunjukkan ketika dokter yang memeriksa kehamilan Dara menjelaskan bahwa kehamilan tersebut sejatinya cukup rawan karena bisa menyebabkan bayi terlahir prematur, memiliki disabilitas, atau bahkan mengalami stunting. Bukankah itu cara yang cerdas menyampaikan sebuah edukasi tanpa harus menggurui?!
Selain itu, film ini sepertinya juga ingin memperlihatkan pentingnya peran keluarga sebagai "support system" bagi anak.Â
Memang betul bahwa "wajah" keluarga yang ditampilkan di film ini sangat kontras (Dara berasal dari keluarga kaya yang tinggal di sebuah rumah mewah dengan kolam renang di dalamnya, sementara keluarga Bima hidup bersahaja di sebuah kontrakan kecil di pinggir sungai).Â
Namun, keduanya mempunyai cara yang berbeda dalam menangani masalah anaknya.
Ibunda Bima (Cut Mini) dan Ayahanda Bima (Arswendy Bening) misalnya mampu bersikap bijak, bertanggung jawab, dan terbuka menerima Dara sebagai bagian dari keluarga dengan bersedia mengizinkannya tinggal bersama, setelah orangtuanya mengusirnya dari rumah.Â
Sementara ayahanda Dara (Dwi Sasono) dan Ibunda Dara (Lulu Tobing) lebih bersikap soliter. Mereka bahkan sempat meminta sanak familinya untuk mengadopsi anaknya Dara karena takut Dara tidak akan mampu merawat dan membesarkan anaknya sendiri!
Solusi yang ditawarkan kedua keluarga tadi memang berbeda, meski tujuannya sama, yakni demi kebaikan si anak tadi.Â
Agaknya, sebagai penulis naskah sekaligus sutradara, Gina S. Noor mencoba memberikan sejumlah alternatif. Ia seolah menawarkan solusi yang berbeda, tanpa membenarkan atau mempersalahkan masing-masing solusi tersebut.Â