Sekadar diketahui, resesi adalah perlambatan ekonomi, yang ditandai oleh minusnya pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) 2 kuartal berturut-turut. Indonesia sudah pernah mengalami resesi ekonomi sebelumnya. Yang teranyar adalah resesi tahun 2020 kemarin, yang disebabkan oleh Pandemi Covid 19.
Pada tahun ini, oleh sejumlah pihak, Indonesia "diramalkan" bakal kembali mengalami resesi ekonomi. Jika sebelumnya pandemi, maka pada tahun ini, penyebabnya adalah inflasi. Inflasi adalah kondisi naiknya harga barang-barang secara serempak. Penyebab inflasi ada beberapa di antaranya banyaknya uang yang beredar di masyarakat, terhambatnya rantai pasokan, dan sebagainya.
Inflasi sejatinya adalah kondisi yang normal. Namun, jika nilainya kelewat tinggi, maka bisa mengganggu ekonomi, sebab jika harga barang terlalu tinggi, maka daya beli bakal menurun, dan imbasnya perusahaan-perasaan bakal mengalami masalah keuangan.
Salah satu cara untuk menjinakkan inflasi ialah Bank Sentral berhenti "mencetak" duit dan mulai menaikkan sukubunga. Nantinya, jika sukubunga naik, maka akan ada banyak duit di masyarakat yang "parkir" di bank atau obligasi. Alhasil, peredaran uang di masyarakat bakal berkurang, sehingga orang tidak bisa berbelanja semaunya. Hal itu akan kembali menyeimbangkan permintaan dan penawaran atas suatu barang di masyarakat dan kenaikan harga bisa terkendali.
Kenaikan sukubunga sudah dilakukan di Indonesia. Per Desember 2022, sukubunga acuan Bank Indonesia (BI) sudah menyentuh 5,5%. Angka tadi belumlah final, sebab sangat mungkin BI mengerek lagi sukubunga pada tahun ini, mengingat inflasi di Indonesia masih berada di kisaran 5% (dalam kondisi normal, inflasi Indonesia kurang-lebih di kisaran 2%).
Kenaikan sukubunga tadi dapat membebani sejumlah unit usaha yang belum pulih sepenuhnya dari dampak Pandemi Covid-19. Perusahaan atau individu yang punya banyak utang bank (terutama dalam Dollar Amerika Serikat) tentunya bakal mengalami kesulitan keuangan. Mereka akan bayar bunga bank lebih mahal daripada sebelumnya, dan hal ini boleh jadi problem tersendiri.
Semua persoalan tadi bisa jadi berimbas pada pertumbuhan PDB Indonesia pada tahun 2023. Meski begitu, sampai tulisan ini dibuat, tanda-tanda resesi di Indonesia belum terlihat, mengingat pada kuartal 3 tahun 2022 saja, PDB Indonesia tercatat masih tumbuh 5,7%. Hal ini tentu bisa jadi "modal" yang bagus bagi Indonesia dalam mengarungi tahun 2023.
Terlebih, dari Januari-November 2022, neraca perdagangan Indonesia masih surplus (ekspor lebih besar dari impor). Surplus tadi disumbang dari sektor nonmigas, terutama batubara, cpo, dan mineral. Surplus tersebut agaknya bakal berlanjut pada tahun 2023, mengingat permintaan batubara dan sebagainya masih tinggi akibat perang yang terus berkecamuk antara Rusia dan Ukraina.
Alhasil, "ramalan" bahwa Indonesia bakal terdampak resesi ekonomi belum tentu terjadi. Sebaliknya, "ramalan" bahwa Indonesia akan lolos dari resesi juga belum bisa dibuktikan. Yang bisa membuktikannya, saya kira, hanya waktu.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H