Hal menarik yang biasanya sering muncul jelang pergantian tahun adalah munculnya konten-konten yang membahas "ramalan" shio tertentu. Maklum, biarpun masih bersifat spekulatif, namun "ramalan" tersebut memang bisa bikin penasaran. Alhasil, "ramalan" tersebut cukup banyak dibaca atau disimak oleh netizen yang memang tertarik olehnya.
Saya pribadi sudah membaca atau menyimak konten-konten demikian sebelumnya di youtube dan sebagainya. Bukan karena mempercayainya. Tapi, hanya merasa iseng saja. Saya cuma merasa penasaran dengan "ramalan" Shio, khususnya yang berhubungan dengan diri saya dan orang-orang terdekat. Wajar, siapa "sih" yang tidak peduli pada hal-hal yang berkaitan dengan dirinya sendiri dan orang-orang terkasih?
Saya memandang "ramalan" Shio seperti prakiraan cuaca. Isinya bisa tepat, bisa juga tidak. Jadi, jika dalam "ramalan" Shio tertentu terdapat hal-hal yang jelek, maka kita seyogyanya tak perlu merasa khawatir, sedih, atau bahkan depresi. Belum tentu hal itu akan terjadi pada kita, sebab bukankah tak ada yang bisa meramalkan masa depan secara akurat? Alhasil, anggap saja "ramalan" jelek itu sebagai alarm yang bisa bikin kita mawas diri dan berhati-hati dalam mengambil keputusan.
Terkait "ramalan" jelek, saya jadi teringat pada cerita Pak Lo Kheng Hong di sebuah acara Investor Summit yang diadakan oleh Bursa Efek Indonesia sekitar tahun 2019 silam. Pak Lo Kheng Hong atau yang biasa disapa Pak Lo bercerita tentang kondisi bursa saham tanah air yang terus-menerus dihantui kekhawatiran "crash" sepanjang tahun 2018. Alhasil, kondisi pasar saham pada tahun itu memang dipenuhi oleh banyak tanda tanya.
Kekhawatiran itu agaknya cukup beralasan. Sebab, jika dirunut dari sejarahnya, pada tahun-tahun yang diakhiri angka 8, biasanya terjadi "crash" yang hebat di pasar saham. Sebut saja tahun 1998 dan 2008, yang sukses bikin pasar saham di Indonesia porak-poranda. Makanya, "crash" serupa "diramalkan" bakal terjadi pada tahun 2018 silam.
Hasilnya? "Ramalan" tadi ternyata meleset! Pada akhir tahun 2018, alih-alih ambyar, IHSG justru sukses menembus level 6000! "Ada yang bilang tahun 2018 bakal terjadi 'crash', tapi ternyata tidak terjadi apa-apa," kata Pak Lo.
Dari situ kita bisa memahami bahwa "ramalan" yang berdasar pada data saja bisa salah, apalagi "ramalan" yang tidak ada dasarnya sama sekali. Alhasil, setiap "ramalan" yang kita dengar atau baca hendaknya dikritisi terlebih dulu. Semua itu dilakukan supaya kita terhindar dari perasaan euforia jika mendengar "ramalan" baik, atau perasaan depresi kalau "ramalan"-nya ternyata jelek.
"Ramalan" Resesi Ekonomi
Tahun 2023 merupakan tahun "Kelinci Air". Seperti sifat air yang alirannya tidak pasti, jauh sebelum pergantian tahun, sudah ada yang "meramalkan" bahwa pada tahun ini, dunia bakal memasuki masa-masa yang tidak pasti. Hal itu bisa dimaklumi mengingat beberapa negara dengan perekonomian terkuat terancam mengalami resesi pada tahun 2023.
Sekadar diketahui, resesi adalah perlambatan ekonomi, yang ditandai oleh minusnya pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) 2 kuartal berturut-turut. Indonesia sudah pernah mengalami resesi ekonomi sebelumnya. Yang teranyar adalah resesi tahun 2020 kemarin, yang disebabkan oleh Pandemi Covid 19.
Pada tahun ini, oleh sejumlah pihak, Indonesia "diramalkan" bakal kembali mengalami resesi ekonomi. Jika sebelumnya pandemi, maka pada tahun ini, penyebabnya adalah inflasi. Inflasi adalah kondisi naiknya harga barang-barang secara serempak. Penyebab inflasi ada beberapa di antaranya banyaknya uang yang beredar di masyarakat, terhambatnya rantai pasokan, dan sebagainya.
Inflasi sejatinya adalah kondisi yang normal. Namun, jika nilainya kelewat tinggi, maka bisa mengganggu ekonomi, sebab jika harga barang terlalu tinggi, maka daya beli bakal menurun, dan imbasnya perusahaan-perasaan bakal mengalami masalah keuangan.
Salah satu cara untuk menjinakkan inflasi ialah Bank Sentral berhenti "mencetak" duit dan mulai menaikkan sukubunga. Nantinya, jika sukubunga naik, maka akan ada banyak duit di masyarakat yang "parkir" di bank atau obligasi. Alhasil, peredaran uang di masyarakat bakal berkurang, sehingga orang tidak bisa berbelanja semaunya. Hal itu akan kembali menyeimbangkan permintaan dan penawaran atas suatu barang di masyarakat dan kenaikan harga bisa terkendali.
Kenaikan sukubunga sudah dilakukan di Indonesia. Per Desember 2022, sukubunga acuan Bank Indonesia (BI) sudah menyentuh 5,5%. Angka tadi belumlah final, sebab sangat mungkin BI mengerek lagi sukubunga pada tahun ini, mengingat inflasi di Indonesia masih berada di kisaran 5% (dalam kondisi normal, inflasi Indonesia kurang-lebih di kisaran 2%).
Kenaikan sukubunga tadi dapat membebani sejumlah unit usaha yang belum pulih sepenuhnya dari dampak Pandemi Covid-19. Perusahaan atau individu yang punya banyak utang bank (terutama dalam Dollar Amerika Serikat) tentunya bakal mengalami kesulitan keuangan. Mereka akan bayar bunga bank lebih mahal daripada sebelumnya, dan hal ini boleh jadi problem tersendiri.
Semua persoalan tadi bisa jadi berimbas pada pertumbuhan PDB Indonesia pada tahun 2023. Meski begitu, sampai tulisan ini dibuat, tanda-tanda resesi di Indonesia belum terlihat, mengingat pada kuartal 3 tahun 2022 saja, PDB Indonesia tercatat masih tumbuh 5,7%. Hal ini tentu bisa jadi "modal" yang bagus bagi Indonesia dalam mengarungi tahun 2023.
Terlebih, dari Januari-November 2022, neraca perdagangan Indonesia masih surplus (ekspor lebih besar dari impor). Surplus tadi disumbang dari sektor nonmigas, terutama batubara, cpo, dan mineral. Surplus tersebut agaknya bakal berlanjut pada tahun 2023, mengingat permintaan batubara dan sebagainya masih tinggi akibat perang yang terus berkecamuk antara Rusia dan Ukraina.
Alhasil, "ramalan" bahwa Indonesia bakal terdampak resesi ekonomi belum tentu terjadi. Sebaliknya, "ramalan" bahwa Indonesia akan lolos dari resesi juga belum bisa dibuktikan. Yang bisa membuktikannya, saya kira, hanya waktu.
Salam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI