Belum lagi, di tengah perjalanan, mereka kerap bertemu dengan pasukan musuh. Baku tembak tak terhindarkan. Akibatnya, ada banyak jatuh korban jiwa. Salah satunya Suster Widya.
Kematian Suster Widya menjadi "pukulan telak" bagi Sudarto. Selama ini, tatkala terluka, Suster Widyalah yang merawatnya. Makanya, di depan makam Suster Widya, Sudarto tampak begitu kehilangan.
Mungkin ada yang menganggap bahwa kisah Kapten Sudarto dkk merupakan cerita fiktif belaka. Hal ini memang tidak sepenuhnya salah. Di bagian kredit memang disebutkan bahwa nama Sudarto dkk hanyalah rekaan, dan apabila ada kesamaan dengan kehidupan nyata, maka itu dianggap sebagai sebuah kebetulan.
Namun, perlu diingat, sebuah kisah fiktif juga bisa terinspirasi dari kejadian yang sesungguhnya. Apalagi jika kita melihat tahun produksi Film Darah dan Doa, maka nuansa perjuangan pascakemerdekaan tentu masih bisa dirasakan oleh masyarakat Indonesia pada waktu itu. Makanya, biarpun cuma karangan semata, namun film ini mampu merefleksikan dan memotret kehidupan masyarakat pada zamannya.
Membuat film seperti Darah dan Doa memang bukan perkara mudah. Keluarga Usmar Ismail, yang diwakili oleh Bapak Nureddin Ismail (anak) dan Bapak Badai Saelan (cucu), pun mengamini hal tersebut.
Keluarga bercerita, sewaktu mengerjakan film tersebut, Usmar Ismail menghadapi beberapa kendala, di antaranya ialah masalah dana. Hal ini bisa dimaklumi mengingat pembuatan film memang menghabiskan banyak ongkos.
Namun, untungnya, TNI divisi Siliwangi membantu proses pengerjaannya. Peralatan militer dan tentara disediakan. Maka, jangan heran, di film, kita bisa menyaksikan banyak tentara lengkap dengan peralatan tempurnya, seperti senapan, pistol, dan tank. Semua peralatan tadi asli, bukan mainan. Dukungan ini tentu saja menunjukkan bahwa Film Darah dan Doa digarap dengan serius, bukan asal asalan.
Meski begitu, tatkala dirilis, film ini bukan tanpa kontroversi. Kontroversi yang muncul menyangkut imej yang melekat pada tokoh Kapten Sudarto. Di film Sudarto diceritakan sudah mempunyai istri. Namun demikian, di tengah tugasnya, ia malah menjalin cinta dengan wanita lain, yakni Suster Widya dan Connie, seorang gadis Indo yang cantik.
Percintaan mereka bahkan ditunjukkan secara terang-terangan, sehingga bawahan Sudarto sempat protes karena khawatir kalau Sudarto melupakan tugasnya dan lebih tergoda melanjutkan asmaranya tersebut. Hal inilah yang kemudian menimbulkan kesan di masyarakat bahwa tentara itu tidak setia dan cenderung "playboy".
Biarpun demikian, apabila kita mau memahami kondisi psikologis Sudarto, kita mungkin bakal memaklumi perbuatannya. Sebagai tentara yang jauh dari keluarganya, ia boleh jadi merasa sangat kesepian. Semua hal mesti dilakukan sendirian. Maka, jangan heran, tatkala ada orang, seperti Suster Widya dan Connie yang mau merawatnya, maka ia bisa berbagi kesepiannya tersebut.