Penetapan Hari Film Nasional yang diperingati setiap tanggal 30 Maret mempunyai sejarah yang cukup panjang. Disebut demikian, sebab penetapan tadi bertepatan syuting perdana Film Darah dan Doa, yang digarap oleh sutradara Usmar Ismail pada tahun 1950. Sebuah film yang menjadi "pioner" dalam kancah perfilman Indonesia pascakemerdekaan!
Bersama teman-teman dari KOMIK, saya berkesempatan menyaksikan film tersebut di Museum Penerangan Taman Mini Indonesia Indah. Sebelumnya, saya tidak tahu-menahu soal film ini. Saya sempat mengira bahwa film ini adalah film horor, mengingat ada kata "darah" di judulnya. Sebuah kata yang lekat dengan "stigma" film hantu dan sebagainya.
Terlebih, di barisan pemainnya juga terselip nama Suzzana, sang "ratu film horor". Maka, lengkap sudah asumsi saya bahwa selama 2 jam, saya bakal dikejutkan oleh beragam jenis makhluk astral khas Indonesia!
Namun, seiring berjalannya alur cerita, asumsi saya tadi terpatahkan. Nyatanya tidak ada penampakan-penampakan yang membikin bulu kuduk merinding. Juga tidak ada suara cekikikan tengah malam, yang bikin suasana menjadi begitu kelam dan seram. Singkatnya, tidak ada nuansa horor di dalamnya. Yang ada justru semangat patriotisme yang bergelola sepanjang film.
Yup, Darah dan Doa memang mengangkat cerita perjuangan tentara Indonesia, yang melakukan perjalanan panjang bersama sekelompok penduduk dari Yogyakarta ke Bandung. Perjalanan yang ditempuh dengan berjalan kaki ini mesti dilakukan demi menyelamatkan nyawa penduduk dari para separatis, yang berupaya menggulingkan NKRI.
Perjalanan tersebut dipimpin oleh Sudarto (Delma Juzar), seorang kapten yang lumayan tangguh. Disebut demikian, lantaran ia sanggup lolos dari beberapa baku tembak. Ia juga dapat selamat tatkala dijebak oleh musuh. Singkat cerita, ia seperti "kucing bernyawa sembilan", yang mampu bertahan di tengah situasi yang sulit.
Tentu saja, dalam menjalankan misinya, Sudarto tidak sendirian. Ia ditemani oleh Kapten Adam, sejawat yang sudah dianggapnya sebagai saudara sendiri, dan Suster Widya, seorang perawat yang ditaksirnya. Bersama-sama mereka bertugas memandu para penduduk dalam menempuh perjalanan yang berbahaya.
Konflik yang muncul di film ini tentunya berkutat pada perjalanan panjang yang dilakukan oleh Kapten Sudarto dkk. Ada berbagai macam cobaan yang mereka alami.
Sebut saja krisis makanan yang sempat terjadi di tengah perjalanan. Di film digambarkan betapa menderitanya Kapten Sudarto dkk karena tidak ada makanan yang tersedia.
Alhasil, dengan terpaksa, mereka memakan apapun yang bisa ditemukan, seperti singkong mentah dan sebagainya. Biarpun itu tidak baik untuk kesehatan, namun tidak ada pilihan lain yang bisa diambil. Semuanya dilakukan demi bisa bertahan hidup.
Belum lagi, di tengah perjalanan, mereka kerap bertemu dengan pasukan musuh. Baku tembak tak terhindarkan. Akibatnya, ada banyak jatuh korban jiwa. Salah satunya Suster Widya.
Kematian Suster Widya menjadi "pukulan telak" bagi Sudarto. Selama ini, tatkala terluka, Suster Widyalah yang merawatnya. Makanya, di depan makam Suster Widya, Sudarto tampak begitu kehilangan.
Mungkin ada yang menganggap bahwa kisah Kapten Sudarto dkk merupakan cerita fiktif belaka. Hal ini memang tidak sepenuhnya salah. Di bagian kredit memang disebutkan bahwa nama Sudarto dkk hanyalah rekaan, dan apabila ada kesamaan dengan kehidupan nyata, maka itu dianggap sebagai sebuah kebetulan.
Namun, perlu diingat, sebuah kisah fiktif juga bisa terinspirasi dari kejadian yang sesungguhnya. Apalagi jika kita melihat tahun produksi Film Darah dan Doa, maka nuansa perjuangan pascakemerdekaan tentu masih bisa dirasakan oleh masyarakat Indonesia pada waktu itu. Makanya, biarpun cuma karangan semata, namun film ini mampu merefleksikan dan memotret kehidupan masyarakat pada zamannya.
Membuat film seperti Darah dan Doa memang bukan perkara mudah. Keluarga Usmar Ismail, yang diwakili oleh Bapak Nureddin Ismail (anak) dan Bapak Badai Saelan (cucu), pun mengamini hal tersebut.
Keluarga bercerita, sewaktu mengerjakan film tersebut, Usmar Ismail menghadapi beberapa kendala, di antaranya ialah masalah dana. Hal ini bisa dimaklumi mengingat pembuatan film memang menghabiskan banyak ongkos.
Namun, untungnya, TNI divisi Siliwangi membantu proses pengerjaannya. Peralatan militer dan tentara disediakan. Maka, jangan heran, di film, kita bisa menyaksikan banyak tentara lengkap dengan peralatan tempurnya, seperti senapan, pistol, dan tank. Semua peralatan tadi asli, bukan mainan. Dukungan ini tentu saja menunjukkan bahwa Film Darah dan Doa digarap dengan serius, bukan asal asalan.
Meski begitu, tatkala dirilis, film ini bukan tanpa kontroversi. Kontroversi yang muncul menyangkut imej yang melekat pada tokoh Kapten Sudarto. Di film Sudarto diceritakan sudah mempunyai istri. Namun demikian, di tengah tugasnya, ia malah menjalin cinta dengan wanita lain, yakni Suster Widya dan Connie, seorang gadis Indo yang cantik.
Percintaan mereka bahkan ditunjukkan secara terang-terangan, sehingga bawahan Sudarto sempat protes karena khawatir kalau Sudarto melupakan tugasnya dan lebih tergoda melanjutkan asmaranya tersebut. Hal inilah yang kemudian menimbulkan kesan di masyarakat bahwa tentara itu tidak setia dan cenderung "playboy".
Biarpun demikian, apabila kita mau memahami kondisi psikologis Sudarto, kita mungkin bakal memaklumi perbuatannya. Sebagai tentara yang jauh dari keluarganya, ia boleh jadi merasa sangat kesepian. Semua hal mesti dilakukan sendirian. Maka, jangan heran, tatkala ada orang, seperti Suster Widya dan Connie yang mau merawatnya, maka ia bisa berbagi kesepiannya tersebut.
Seperti judulnya, proses pembuatan Film Darah dan Doa memang membutuhkan banyak "darah" (pengorbanan). Lewat film ini, Usmar Ismail berkesempatan menyalurkan idealismenya sebagai sutradara biarpun harus mengalami perjuangan yang besar dalam membuatnya. Sebuah kesempatan yang tentunya terbilang langka, mengingat pada film-film berikutnya ia terpaksa mengikuti "selera pasar" dan mesti mengesampingkan idealismenya tadi, demi menghidupi rumah produksi.
Darah dan Doa adalah film pertama yang yang diproduksi setelah Indonesia merdeka. Tentu saja film ini membuka "doa" bagi film-film berikutnya. Harapannya, doa tadi dapat terus mengalir pada masa depan, sehingga bisa muncul film-film karya Sineas Indonesia yang tak hanya enak ditonton, tapi juga bisa berbicara banyak di panggung perfilman dunia.
Selamat Hari Film Nasional.
Salam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI