Ruby Rossi ibarat sebuah tiram yang menyimpan “mutiara indah” di balik cangkangnya. Meski begitu, ia seolah enggan memperlihatkannya kepada dunia. Bukan karena pelit. Bukan pula karena sungkan. Ia hanya merasa rendah diri kalau-kalau “mutiara” yang dimilikinya tersebut tidaklah seindah yang dipikirkan orang-orang.
Perasaan rendah diri itu bisa muncul bukan tanpa sebab. Ruby memang berasal dari keluarga yang “spesial”. Disebut demikian, karena ayah, ibu, dan abangnya merupakan penyandang tunarungu. Hanya ia seorang yang terlahir normal. Hal inilah yang membuatnya kerap merasa berbeda.
Menjalani hidup dengan keluarga demikian bukanlah perkara mudah, terutama dalam hal komunikasi, sebab semua isi pikiran tidak bisa disampaikan secara lisan. Marah, bercanda, dan curhat hanya dapat diungkapkan lewat isyarat tangan. Mungkin terkesan aneh bagi kebanyakan orang, tapi tidak bagi Ruby. Karena merupakan satu-satunya anggota keluarga yang normal, maka ia kerap menjadi juru bicara bagi keluarganya.
Ayah dan abangnya berprofesi sebagai nelayan, yang hampir setiap subuh, melaut menangkap ikan. Ruby kerap membantu mereka. Di atas kapal ia bertugas menyortir ikan, dan sesekali menjawab panggilan radio kapal, sebuah tugas yang jelas tidak mungkin dilakukan oleh ayah dan abangnya.
Hal inilah yang kemudian membikin sekolahnya berantakan. Ia kerap datang terlambat, tertidur di kelas, dan terkadang sampai lupa mandi, sehingga ada temannya yang mengejeknya bau ikan.
Meskipun terlihat seperti siswa tanpa harapan, namun sesungguhnya Ruby punya bakat yang istimewa dalam musik. Ia senang bernyanyi. Ia memiliki suara yang bagus. Itulah “mutiara” yang selama ini terus dipendam di balik rasa mindernya.
Awalnya Ruby hanya menyembunyikannya saja, namun lama-lama mutiara tadi akhirnya terkuak juga. Adalah seorang guru musik bernama Bernardo Villalobos, yang bisa melihat "mutiara" tersebut.
Di bawah bimbingan Villalobos, “mutiara” yang tadinya hanya tertutup rapat di dalam kegelapan akhirnya mempunyai kesempatan untuk menunjukkan cahayanya.
Dua Sisi Keluarga
Kisah Ruby secara lengkap bisa disaksikan di film CODA (Child of Deaf Adult), yang dirilis pada tahun 2021 kemarin. Film ini sejatinya remake film Prancis berjudul La Famille Belier, yang tayang enam tahun sebelumnya.
Secara garis besar, CODA berfokus pada konflik yang dialami Ruby dan keluarganya. Pergolakan itu muncul karena bagi Ruby, keluarga ibarat sekeping koin yang mempunyai dua sisi yang bertolak belakang.
Di satu sisi, keluarga menjadi support system baginya. Di sanalah ia memperoleh makanan dan pendidikan. Di sana pula ia mendapat bantuan tatkala sedang mengalami masalah. Keluarganya selalu hadir untuknya.
Meski begitu, di sisi lain, keluarganya pun mengharapkan kehadiran Ruby bersama mereka. Keluarganya memerlukan bantuannya terutama saat bekerja mencari ikan dan berkomunikasi dengan warga sekitar.
Tanpa Ruby, hidup mereka bakal sulit, sehingga jangan heran, mereka kemudian berharap Ruby terus membantu mereka dalam menjalankan bisnis; dan itu artinya ia harus membuat pilihan yang berat: mengurus keluarga atau menekuni musik.
Bagi orang yang mengalami peristiwa serupa, film ini mungkin sangat mengena. Harus diakui, film ini memang terasa emosional. Meskipun banyak menampilkan adegan sehari-hari yang sebetulnya tampak biasa saja, namun dengan adanya bumbu-bumbu dramatik di dalamnya, jalinan cerita film ini jadi tampak berbeda.
Semua itu bisa terjadi berkat sentuhan Sutradara Sian Heder. Ia cukup piawai mengaduk emosi. Lewat adegan yang dekat dengan keseharian, ia mampu mengarahkan jalan cerita dan membangun konflik secara bertahap.
Alhasil, kita jadi bisa memahami bagaimana rasanya dipandang berbeda karena punya keluarga tunarungu, diperlakukan tidak adil sebagai difabel oleh lingkungan sekitar, dan dibebani berbagai kesulitan yang mesti ditanggung oleh orang-orang berkebutuhan khusus.
Selain itu, kepiawaian Emila Jones dalam memerankan Ruby juga merupakan “gravitasi” di film ini. Ia bisa menjiwai karakter Ruby dengan baik.
Hal ini bisa dimaklumi mengingat kehidupannya sendiri dan kehidupan Ruby memang terasa dekat. Emilia yang masih berusia 19 tahun tentu mengenal betul psikologi remaja seperti Ruby, sehingga ia mampu memerankan karakter Ruby secara natural.
Apresiasi juga layak disematkan kepada Troy Kotsur. Ia berperan sebagai Frank Rossi, ayah Ruby. Di dalam film, ia memang tidak mengucapkan sepatah kata pun, tetapi melalui isyarat tangan yang diperlihatkannya ia mampu berbicara banyak.
Satu adegan yang cukup membekas ialah tatkala Frank protes terhadap sistem pelelangan ikan yang dinilai merugikan bisnisnya. Meskipun merupakan seorang difabel, ia cukup berani mengutarakan keberatannya secara lantang.
“Kami memang tunarungu, tapi bukan berarti kami tidak berdaya,” katanya lewat isyarat tangan.
Sikap inilah yang tentu ikut mewakili suara hati para penyandang disabilitas lainnya bahwa mereka tidak melulu harus malu, minder, dan pasrah di tengah masyarakat, tetapi mereka juga masih bisa berdaya. Dengan demikian, para penyandang disabilitas diharapkan tidak lagi dipinggirkan dan dipandang sebelah mata.
Atas perannya tersebut, Troy pun masuk nominasi Oscar 2022 untuk kategori Best Supporting Actor.
Nominasi Oscar
Sebelum masuk nominasi Oscar 2022, CODA sempat melanglang ke sejumlah pagelaran lain. Beberapa di antaranya membuahkan kemenangan, seperti di event Alliance of Woman Film Journalists, Boston Society of Film Critics Awards, Chicago Indie Critics Awards, Gotham Awards, Hawaii Film Critics Society, Heartland Film, dan Hollywood Critics Association.
Sementara itu, dalam pagelaran Oscar 2022, CODA menjadi penghuni grup Best Picture. CODA bakal bersaing ketat dengan film lain, seperti Belfast, Don’t Look Up, Drive My Car, Dune, King Richard, Licorice Pizza, Nightmare Alley, West Side Story, dan The Power of Dog.
Di antara sekian film tadi, hanya Belfast dan West Side Story yang mengusung genre drama musikal yang sama dengan CODA. Tentu saja kompetisi ini menjadi cukup ketat, mengingat Belfast dan West Side Story juga mempunyai keunggulannya tersendiri, serta mampu mengirim sejumlah kandidat di kategori lain.
Meski begitu, kehadiran CODA di dalam nominasi tadi tentu mempunyai arti tersendiri. Sebab, cukup jarang ada film remake, yang bisa menembus Oscar. Film-film yang terpilih biasanya memiliki cerita yang otentik, bukan hasil interpretasi dari film lain. Oleh sebab itu, dewan juri oscar mungkin melihat sesuatu yang unik di film ini sewaktu menentukan nominasi.
Jadi, apakah CODA bakal membikin kejutan di dalam pagelaran Oscar tahun ini? Kita tunggu saja.
Salam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI