Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Beli Saham Bukalapak, "Cuan" atau "Zonk"?

9 Agustus 2021   07:00 Diperbarui: 9 Agustus 2021   09:43 1435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Logo PT Bukalapak.com| Sumber: Dokumentasi Bukalapak via Kompas.com

Pada minggu kemarin, seorang teman mengaku "menyesal" karena batal membeli saham IPO Bukalapak. Padahal, jauh sebelum tersiar kabar bahwa Bukalapak bakal melakukan IPO pada tahun 2021, ia sudah memendam keinginan yang kuat untuk menjadi salah satu pemegang saham dari perusahaan teknologi.

Alasannya? Karena perusahaan teknologi mempunyai masa depan yang terbilang "cerah". Buktinya, mayoritas bursa top dunia umumnya kini dikuasai oleh perusahaan teknologi. 

Alhasil, jika mempunyai saham tersebut secuil saja, dan kemudian "tidur" tanpa melakukan apapun, maka harga sahamnya bakal bertumbuh dengan sendirinya dalam jangka panjang, hingga akhirnya membawa kesejahteraan bagi pemegangnya.

Namun, sayangnya, karena satu dan lain hal, ia batal membeli saham IPO Bukalapak. Hal ini tentu disayangkan, mengingat IPO Bukalapak terbilang sukses! Disebut demikian karena Bukalapak berhasil memecahkan rekor IPO terbesar, yang selama ini dipegang oleh Adaro. Dalam hajatan prestisius tersebut, Bukalapak sukses menghimpun dana sebesar 22 triliun, jauh melampaui rekor yang ditorehkan oleh Adaro, yakni sebesar 12 triliun rupiah pada tahun 2008 silam.

Saham Bukalapak/ Sumber: https://www.idxchannel.com/
Saham Bukalapak/ Sumber: https://www.idxchannel.com/

Kesuksesan lain yang juga perlu dicatat ialah animo masyarakat yang tergolong tinggi terhadap saham Bukalapak. Buktinya, begitu listing pada hari Jumat kemarin, saham Bukalapak langsung melejit 24% alias Auto Reject Atas. 

Kenaikan tadi bukan mustahil bakal berlanjut dalam beberapa pekan ke depan. Jadi, bagi investor yang beruntung mendapatkan jatah saham IPO Bukalapak, potensi cuan lebih dari 50% bukanlah sekadar angan-angan!

Meskipun teman saya melewatkan peluang tersebut, saya coba sedikit menghiburnya. Tenang saja, kata saya, nanti juga bakal ada IPO perusahaan Unicorn lainnya. Tentu saja kata-kata tadi bukan basa-basi semata. Saya kira, peluang perusahaan teknologi lain untuk mengikuti jejak Bukalapak masih terbuka lebar.

Terlebih lagi, Indonesia kini mempunyai beberapa perusahaan Unicorn, macam GoTo, Traveloka, dan sebagainya, yang disebut-sebut siap melangsungkan IPO dalam waktu dekat. 

Alhasil, kalaupun sekarang belum bisa mempunyai saham Bukalapak, maka masih ada perusahaan lain, yang bisa dibeli sahamnya begitu mereka semua listing di pasar saham suatu hari nanti.

Membuka Jalan Bagi Perusahaan Sejenis

Kesuksesan IPO Bukalapak setidaknya menandai sejumlah hal. Yang pertama ialah kesempatan bagi perusahaan sejenis untuk berani melakukan IPO di Indonesia. 

Hal ini memang cukup "sensitif", mengingat beberapa tahun sebelumnya sudah terdengar kabar bahwa perusahaan teknologi memang sudah berkeinginan melangsungkan IPO di dalam negeri. 

Namun, karena pada waktu itu, regulasi yang ditetapkan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) belum begitu matang, maka kabar tadi hanya menjadi "angin lalu" saja.

Alasan lainnya ialah belum munculnya momentum yang tepat untuk melangsungkan IPO. Wajar, sejak tahun 2017-2019, IHSG memang cenderung bergerak sideway. Belum pernah sekalipun IHSG sanggup menembus level tertingginya, yakni 6500-an.

Kurangnya momentum tersebut mungkin saja membikin beberapa perusahaan Unicorn tadi bimbang. Dikhawatirkan jika nekat menggelar IPO tatkala pasar saham sedang lesu-lesunya, maka dana yang terkumpul bakal meleset dari target, dan IPO tersebut terancam gagal.

Namun demikian, sekarang semua kondisi tadi tampaknya sudah cukup ideal. Regulasi yang dibuat BEI telah cukup matang, sehingga meskipun di dalam pembukuannya masih mencatatkan kerugian, namun perusahaan Unicorn tetap boleh melakukan IPO.

Selain itu, sekarang kondisi pasar saham juga sedang bagus, mengingat animo masyarakat untuk bertransaksi saham lumayan besar. Kondisi inilah yang memungkinkan saham IPO dari perusahaan Unicorn bakal laris manis dipesan investor, biarpun harga yang dipatok adalah harga yang tertinggi. Dengan situasi demikian, kemungkinan gagalnya IPO tadi bisa diminimalkan sekecil mungkin.

"Kesempatan" atau "Jebakan"?

IPO-nya Bukalapak boleh jadi menandai era keemasan di sektor teknologi. Sektor ini memang terbilang "newbie", karena baru muncul dalam pengklasifikasian teranyar yang dilakukan oleh BEI.

Meski begitu, jauh sebelum sektor ini tersusun, sebetulnya sudah ada emiten teknologi yang telebih dulu melantai di bursa saham tanah air. Sebut saja Metrodata (MTDL). 

Perusahaan yang dulunya lebih banyak menjadi distributor perangkat TI sekarang sudah merambah ke sektor teknologi yang lebih luas. Maka, jangan heran, sejak beberapa tahun lalu, sahamnya mengalami pertumbuhan, seiring dengan meningkatnya tren teknologi di Indonesia.

Terlebih, tren positif tadi mungkin bakal terus berlanjut. Dengan masuknya Bukalapak cs ke pasar saham, sektor teknologi boleh jadi bakal menjelma "motor" yang menggerakkan IHSG pada masa depan. Alhasil, saya kira, era keemasan sektor teknologi di Indonesia sudah berada di depan mata.

Namun demikian, tetap ada aspek lain yang perlu dicermati, terutama terkait fundamental perusahaan teknologi. Memang betul bahwa pasca listing di pasar saham, market capital Bukalapak menyentuh angka 109 triliun. Market capital ini setara dengan perusahaan lawas yang sudah terbukti kinerjanya, seperti HMSP, ICBP, dan BRPT.

Alhasil, meskipun baru berdiri sekitar 10 tahun yang lalu, namun nilai Bukalapak sudah sederajat dengan perusahaan-perusahaan yang umurnya jauh lebih tua tersebut. 

Di samping itu, kalau harga sahamnya ternyata terus meningkat, maka bukan mustahil Bukalapak bakal melampaui nilai yang dimiliki oleh "saudara tua"-nya tadi dari segi market capital.

Walau begitu, yang jadi pertanyaan krusial adalah apakah Bukalapak sanggup mempertahankan performanya dalam jangka panjang? Jika iya, tentu tidak jadi soal, tetapi bagaimana kalau yang terjadi justru sebaliknya: Bukalapak sulit mencatatkan laba yang diharapkan, dan dalam jangka panjang, perseroan malah terancam bangkrut lantaran terus-menerus merugi. Apabila skenario terburuk yang terjadi, maka bukan mustahil, market capital Bukalapak bakal jatuh!

Makanya, berinvestasi di saham demikian sebetulnya cukup berisiko, mengingat kita tidak pernah tahu bagaimana nasib sebuah perseroan. Yang sudah terbukti untung saja harga sahamnya bisa jatuh, apalagi yang masih merugi?

Oleh sebab itu, meskpun sektor teknologi sedang menjadi "sektor primadona" di mata investor atau trader, namun bukan berarti saham-saham di dalamnya bisa dibeli semuanya. Kita mesti tetap selektif, mengukur kinerja perusahaan berdasarkan fundamentalnya, supaya tidak mendapat "zonk" karena terbawa euforia sesaat.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun