Setelah berabad-abad hanya tersimpan di dalam kenangan, sejumlah alat musik legendaris itu akhirnya kembali dibunyikan. Bagi mereka, mungkin momen itu adalah "penantian" yang begitu panjang. Makanya, jika saja bernyawa, maka barangkali mereka bakal "bersuara" dengan penuh sukacita!
Rasanya hal itu tidak terlalu berlebihan, mengingat alat musik yang dimainkan dalam pagelaran Sound of Borobudur itu merupakan replika alat musik yang terpahat di relief Candi Borobudur. Sebelum adanya pagelaran tersebut, bertahun-tahun lamanya semua alat musik tadi hanya bisa dipandang, tanpa pernah diketahui "citarasa" bunyinya.
Hal itu tentu sungguh disayangkan karena alat musik tersebut sejatinya mempunyai keunikan tertentu. Keunikan tadi tak hanya bisa dilihat dari segi bentuk, tapi juga sejarahnya. Ya, jika ditelusuri sejarahnya, maka alat musik itu boleh jadi merupakan "saksi bisu" bahwa dulunya Borobudur pusat musik dunia.
Sebuah Jejak Sejarah
Hal itu sangat mungkin terjadi berkat kiprah luar biasa yang dilakukan oleh Wangsa Syailendra pada masa lampau. Wangsa ini adalah klan yang berkuasa di Kerajaan Mataram Kuno. Wangsa ini dipimpin oleh seorang raja bernama Rakai Panangkaran.
Dulunya Mataram Kuno dikenal sebagai negeri agraris. Mayoritas masyarakatnya mengandalkan pertanian sebagai sumber penghidupan. Meski begitu, bukan berarti negeri ini menutup "pintu" bagi perdagangan internasional.
Sejumlah ahli berpendapat bahwa pada masa lalu, Mataram Kuno kemungkinan pernah menjalin hubungan dagang dengan negeri lain. Buktinya, di dinding Candi Borobudur, terukir gambar kapal bercadik. Gambar ini mengisyaratkan bahwa berabad-abad silam, boleh jadi pernah terjadi ekspedisi via laut yang dilakukan oleh masyarakat setempat ke sejumlah wilayah.
Hubungan antarnegara ini boleh jadi menyebabkan terjadinya akulturasi budaya, yang mencakup sejumlah aspek, termasuk alat musik. Alhasil, ketika Wangsa Syailendra membangun Borobudur, maka terdapat sejumlah simbol alat musik yang dinilai mempunyai kemiripan dengan alat musik dari negara lain.
Interpretasi Karmawibhangga
Relief alat musik tadi sejatinya banyak ditemukan di kaki Candi Borobudur. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat kaki candi memuat ajaran tentang Karmawibhangga. Karmawibhangga adalah Ajaran Buddha yang menjelaskan topik tentang "karma dan buahnya".
Dalam sejumlah referensi yang bisa ditemukan secara bebas di internet, karma kerap didefinisikan sebagai "Hukum Sebab-Akibat" atau "Hukum Tabur-Tuai". Definisi ini sebetulnya kurang begitu tepat, mengingat konsep karma dalam Agama Buddha lebih menyoal tentang "perbuatan yang diniatkan".
Agama Buddha mengajarkan bahwa setiap perbuatan (baik atau buruk) yang dikehendaki "berpotensi" menghasilkan dampak tertentu. Oleh sebab itu, jangan heran, jika di bagian Karmawibhangga terdapat banyak sekali panel yang memperlihatkan perbuatan (baik atau buruk) yang dilakukan masyarakat Jawa Kuna beserta semua akibatnya.
Dari situ bisa terlihat jelas bahwa seperti halnya masyarakat masa kini, orang Jawa Kuna ternyata juga suka bermusik. Bermusik agaknya menjadi sebuah hiburan di tengah rutinitas sehari-hari.
Dengan bermusik, mereka bisa melepas penat, sekaligus menjalin hubungan sosial dengan sesama. Alhasil, musik yang dimainkan secara bersama-sama menciptakan sebuah harmoni yang begitu kuat.
Sayangnya, kegiatan bermusik tadi kemudian lenyap disapu perubahan. Tak ada satu pun alat musik tadi yang tersisa. Semuanya hanya bisa terekam dan terkubur selama berabad-abad bersama relief Karmawibbhangga tersebut.
Replika Alat Musik
Setelah "hiatus" cukup lama, atas inisiatif sejumlah artis, seperti Trie Utami, Dewa Budjana, Purwa Caraka, dan lain-lain, akhirnya sejumlah alat musik tadi memiliki kesempatan untuk hadir kembali di atas panggung dunia lewat pagelaran Borobudur Culture Feast 2016.
Dalam acara tersebut, lagu "Padma Swargantara" yang digubah oleh Trie Utami dan Dewa Budjana sukses dipentas dengan iringan alat musik hasil replika dari relief Candi Borobudur. Alat musik itu di antaranya adalah Gasona, Solawa, dan Gasola, yang dibuat dari bahan kayu jati oleh seniman Ali Gardy.
Meskipun durasinya relatif singkat, namun pentas tadi membutuhkan proses pengerjaan yang lumayan rumit. Maklum, tidak mudah mereplika alat musik di relief candi karena semuanya terpendam di bawah tanah. Alhasil, proses replika hanya bisa dilakukan berbekal referensi literatur saja.
Karena tidak diketahui suara aslinya, maka tunning (penalaan) alat musik tersebut menggunakan standar yang sudah baku. "Soal Borobudur kan gambaran visual yang lebih banyak. Kalau suara kan gak pernah ada yang tahu. Jadi, saya lebih ke multitafsir apa yang ada sekarang. Saya sesuaikan dengan standar internasional," kata Dewa Budjana, dalam pembukaan seminar online Sound of Borobudur 2021.
Sejumlah musisi yang terpilih memainkan alat musik tersebut juga berasal dari kalangan profesional. Mereka di antaranya adalah Chaka Priambudi, Taufan Irianto Siswadi, Fariz Alwan, Bintang Indrianto, Dewa Budjana, dan Trie Utami. Masing-masing memainkan alat musik hasil replika, yang dinilai mempunyai kemiripan dengan alat musik dari 34 provinsi di Indonesia dan 40 negara di dunia.
Para musisi tadi kemudian menampilkan sejumlah lagu, di antaranya Jataka, Lan E Tuyang, dan Indonesia Pusaka. Semua lagu tadi dibawakan dengan nuansa etnik yang kental dan penuh harmoni.
Pagelaran Sound of Borobudur yang diselenggarakan bulan April 2021 tersebut dinilai turut memperkaya budaya Indonesia. Lewat pagelaran ini, kita jadi lebih mengenal Borobudur lebih dalam.
Alhasil, Borobudur kini tak lagi hanya dipandang sebagai candi yang banyak menampilkan simbol-simbol Ajaran Buddha, tetapi juga dinilai memuat "memori kolektif" tentang kebudayaan (baca: bermusik) masyarakat Jawa Kuna yang begitu berharga.
Hal ini tentunya menimbulkan sebuah kebanggaan. Sebab, dari situ, kita bisa tahu bahwa nenek moyang kita ternyata sangat berbudaya, dan kebudayaan yang dimiliki mempunyai nilai yang tinggi. Oleh sebab itu, untuk mengenalkan budaya tersebut, rasanya tidak salah jika pagelaran tadi menjadi bagian penting dari program Wonderful Indonesia yang digaungkan pemerintah. Â
Upaya Trie Utami dan kawan-kawan untuk menghadirkan alat musik tersebut juga patut diapresiasi. Upaya tersebut mirip dengan cerita para pemburu harta karun, yang begitu berani menerobos hutan belantara untuk menemukan sebuah kota kuno yang menyimpan banyak benda berharga.
Jelas upaya tadi tidak mudah dilakukan. Namun, berkat hal itu, kini kita bisa melihat wujud alat musik yang dulu sering dimainkan oleh masyarakat Jawa Kuna. Alhasil, sekarang alat musik tadi pun menjadi aset bangsa yang berharga, dan berkesempatan kembali "menyapa" telinga masyarakat dunia.
Salam. Â Â
Referensi:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H