Meskipun durasinya relatif singkat, namun pentas tadi membutuhkan proses pengerjaan yang lumayan rumit. Maklum, tidak mudah mereplika alat musik di relief candi karena semuanya terpendam di bawah tanah. Alhasil, proses replika hanya bisa dilakukan berbekal referensi literatur saja.
Karena tidak diketahui suara aslinya, maka tunning (penalaan) alat musik tersebut menggunakan standar yang sudah baku. "Soal Borobudur kan gambaran visual yang lebih banyak. Kalau suara kan gak pernah ada yang tahu. Jadi, saya lebih ke multitafsir apa yang ada sekarang. Saya sesuaikan dengan standar internasional," kata Dewa Budjana, dalam pembukaan seminar online Sound of Borobudur 2021.
Sejumlah musisi yang terpilih memainkan alat musik tersebut juga berasal dari kalangan profesional. Mereka di antaranya adalah Chaka Priambudi, Taufan Irianto Siswadi, Fariz Alwan, Bintang Indrianto, Dewa Budjana, dan Trie Utami. Masing-masing memainkan alat musik hasil replika, yang dinilai mempunyai kemiripan dengan alat musik dari 34 provinsi di Indonesia dan 40 negara di dunia.
Para musisi tadi kemudian menampilkan sejumlah lagu, di antaranya Jataka, Lan E Tuyang, dan Indonesia Pusaka. Semua lagu tadi dibawakan dengan nuansa etnik yang kental dan penuh harmoni.
Pagelaran Sound of Borobudur yang diselenggarakan bulan April 2021 tersebut dinilai turut memperkaya budaya Indonesia. Lewat pagelaran ini, kita jadi lebih mengenal Borobudur lebih dalam.
Alhasil, Borobudur kini tak lagi hanya dipandang sebagai candi yang banyak menampilkan simbol-simbol Ajaran Buddha, tetapi juga dinilai memuat "memori kolektif" tentang kebudayaan (baca: bermusik) masyarakat Jawa Kuna yang begitu berharga.
Hal ini tentunya menimbulkan sebuah kebanggaan. Sebab, dari situ, kita bisa tahu bahwa nenek moyang kita ternyata sangat berbudaya, dan kebudayaan yang dimiliki mempunyai nilai yang tinggi. Oleh sebab itu, untuk mengenalkan budaya tersebut, rasanya tidak salah jika pagelaran tadi menjadi bagian penting dari program Wonderful Indonesia yang digaungkan pemerintah. Â
Upaya Trie Utami dan kawan-kawan untuk menghadirkan alat musik tersebut juga patut diapresiasi. Upaya tersebut mirip dengan cerita para pemburu harta karun, yang begitu berani menerobos hutan belantara untuk menemukan sebuah kota kuno yang menyimpan banyak benda berharga.