Bagi orang-orang yang mempunyai latar pendidikan ekonomi, hal tersebut sepertinya tidak akan menjadi masalah, karena sewaktu kuliah, yang bersangkutan pasti pernah mempelajari laporan keuangan perusahaan.
Tanpa kemampuan untuk memahami dan menganalisis laporan keuangan, seseorang mungkin saja keliru membeli saham, sehingga investasinya bukannya untung, tetapi malah bisa rugi.
Namun, bagaimana dengan orang-orang yang latar pendidikannya berbeda?
Inilah yang jadi persoalan. Memang betul keterampilan dalam menafsirkan laporan keuangan bisa dipelajari. Ada berbagai macam buku, artikel, atau bahkan konten di media streaming, yang membahas hal tersebut.
Namun demikian, dalam usia yang relatif sudah tua, mampukah seseorang mempelajarinya dalam waktu singkat?
Belum lagi, agar berhasil dalam investasi saham, seseorang juga mesti mempunyai "jam terbang" yang lumayan banyak. "Jam terbang" ini sejatinya dipupuk lewat serangkaian pengalaman, yang didapat selama berinvestasi saham.
Berdasarkan pengalaman pribadi, setidaknya butuh waktu minimal satu-dua tahun untuk belajar berinvestasi saham. Dalam rentang waktu tersebut, seseorang bakal belajar mengenal dirinya dengan lebih baik.
Yang bersangkutan akan jadi tahu apakah ia termasuk orang yang tetap "santuy" meski pasar saham sedang anjlok gila-gilaan, ataukah ia tergolong orang yang gampang grogi hingga susah tidur karena terus memikirkan portofolionya yang berdarah-darah.
Pengalaman-pengalaman tadi penting diperoleh supaya orang tersebut terbiasa menghadapi drama yang terjadi di pasar saham.
Tanpa pengalaman tersebut, seseorang bakal sulit mengendalikan emosinya manakala pasar saham sedang "bergejolak", sehingga cenderung membuat keputusan yang bisa merugikan diri sendiri.