Layanan tadi terasa begitu bermanfaat, terutama dalam masa pandemi, sebab nasabah yang sulit mengurus segala macam keperluan secara langsung di bank bisa menyelesaikannya lewat aplikasi tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, prospek BRIS sebetulnya tampak cerah. Meski begitu, saya tidak langsung memborong saham BRIS sekaligus, mengingat di laporan arus kasnya terdapat defisit sebesar 3 triliun rupiah. Defisit tadi bisa mengindikasikan bahwa perusahaan begitu ekspansif dalam menjalankan usaha, sampai-sampai dana operasionalnya minus.
Selain itu, kondisi IHSG juga masih "angin-anginan" setelah mengalami crash yang cukup dalam pada bulan Maret. Dalam situasi tersebut, cukup berisiko kalau saya berbelanja saham sekaligus.Â
Makanya, untuk meminimalkan risiko, saya memutuskan membelinya secara bertahap, mulai dari harga 264, 288, 296, dan 308. Jika dirata-rata, maka harga pembelian yang didapat adalah 300.
Namun demikian, reli saham BRIS ternyata sempat terhenti di harga 300-an. Cukup lama harganya bolak-balik di harga 280-320. Sepertinya investor masih "bimbang" untuk memborong sahamnya. Alhasil, biarpun valuasinya masih begitu murah (PBV 0,5 kali), namun harganya cenderung jalan di tempat.
Momentum Kenaikan Harga
Situasi itu ternyata berlangsung beberapa minggu saja. Sebab, begitu muncul sebuah sentimen positif, maka terjadilah sebuah "momentum".
Sentimen yang dimaksud ialah rencana pemerintah untuk memerger beberapa bank syariah milik negara pada tahun 2021. Berita ini sontak "menyengat" saham BRIS. Harga saham BRIS yang tadinya "adem ayem" pun melesat dengan begitu cepat.
Hal ini tentu saja merupakan sebuah "sinyal" yang bagus. Setelah dana yang tersedia habis terpakai, maka saya memperoleh cukup banyak saham BRIS dengan harga pembelian 381.
Selebihnya yang saya lakukan adalah "tidur". Saya mendiamkan saja sahamnya. Tidak ada pembelian berikutnya, dan ternyata harganya terus naik, apalagi setelah perusahaan merilis laporan keuangan semester 1, yang menunjukkan kinerja yang begitu bagus.