Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Pengalaman Nyaris Rugi 20 Juta Akibat "Crash"-nya IHSG

22 Agustus 2020   09:37 Diperbarui: 23 Agustus 2020   20:07 2003
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengalaman ini sebetulnya belum lama terjadi, tapi kalau diingat-ingat, kesan yang ditimbulkannya begitu "membekas" di hati saya. Maklum, setelah beberapa tahun berinvestasi di pasar modal, baru kali ini, saya menyaksikan "crash" yang sangat "tajam" dan "kejam".

Peristiwa itu sebetulnya di luar perkiraan saya. Sebelumnya, saya mengira bahwa pada tahun 2020, pasar saham bakal mengalami "guncangan hebat" akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang berkepanjangan.

Wajar, perang tadi tak hanya memicu ketegangan bilateral antara kedua negara adidaya tersebut, tetapi juga ikut "menggoyang" pasar keuangan global. Alhasil, sejak perang tadi berkecamuk, pasar keuangan dunia cenderung "panas-dingin" dibuatnya.

Meski begitu, sayangnya, perkiraan saya meleset. Perekonomian dunia ternyata tidak hancur akibat perang dagang tadi, tetapi akibat Pandemi Virus Corona yang muncul secara tiba-tiba.

Kemunculan pandemi tersebut memang di luar dugaan banyak orang. Tidak ada yang menyangka sebelumnya bahwa virus yang berasal dari sebuah kota di Tiongkok ini bakal "mendunia" dan melumpuhkan perekonomian global dalam waktu yang begitu cepat.

Efeknya pun sudah bisa ditebak: pasar saham di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, jadi merah membara. Pada bulan Maret kemarin, IHSG pun "terjun bebas" dari level 6000-an ke level 4000-an.

Sialnya, ketika hal itu terjadi, mayoritas dana yang saya miliki ada di dalamnya! Akibat saham-saham yang saya pegang rontok harganya, maka saya pun terkena capital loss yang sangat dalam.

Tidak tanggung-tanggung, dari keseluruhan dana yang saya investasikan, potensi loss yang saya alami nyaris 20 juta Rupiah!

Bagi investor yang belum punya jam terbang yang tinggi seperti saya, kejadian itu jelas bikin gamang. Berbagai pertanyaan menyeruak di benak saya.

Dalam krisis demikian, apa yang mesti saya lakukan untuk menyelamatkan portofolio investasi saya? Apakah saya mesti melakukan cutloss, membiarkan saja, atau justru membeli saham di harga yang lebih rendah?

Setelah mengamati stuasi yang terjadi, akhirnya saya menemukan jawabannya. Saya memutuskan mempertahankan saham-saham yang saya miliki, meskipun saya sadar, risiko yang saya tanggung bakal bertambah besar andaikan pasar saham terkapar lebih dalam lagi.

Pertimbangannya sebetulnya sederhana. Saya menilai bahwa pandemi ini hanya bersifat sementara, dan suatu saat nanti, pasar akan kembali pulih.

Untuk menegaskan penilaian saya, saya kemudian memeriksa fundamental dari saham-saham yang saya koleksi. Saya berpedoman pada hal itu dalam mengambil keputusan berikutnya. Jika terdapat perubahan yang negatif pada fundamental perusahaan, maka saya mesti "meracik" ulang strategi investasi saya.

Strategi yang saya terapkan ialah "rotasi saham". Strategi ini baru dilakukan setelah emiten merilis Laporan Keuangan Kuartal 1 tahun 2020. Apabila ada emiten yang bisnisnya terdampak Covid19, maka saya memutuskan menjual sebagian atau seluruh sahamnya.

Uang hasil penjualan tadi tidak langsung dicairkan, tetapi dibelikan saham lain yang menarik. Maklum, ketika IHSG "crash", maka kita bisa menemukan banyak sekali saham bagus yang dihargai begitu murah. Alhasil, meskipun masih loss, tapi saya tetap melepas beberapa saham lama, untuk kemudian ditukar dengan saham baru yang kinerjanya bagus dan valuasinya murah.

Strategi ini sebetulnya tidak bebas risiko. Sebab, bagaimana kalau saham baru yang saya pilih ternyata tidak naik harganya seperti yang diharapkan? Jika hal itu sampai terjadi, bukankah situasinya akan sama saja, atau bahkan lebih buruk?

Meski risiko tadi tetap terbuka, namun saya tidak punya banyak pilihan. Barangkali inilah salah satu cara yang bisa saya lakukan untuk membalikkan keadaan. Daripada hanya duduk diam menanti perubahan, lebih baik saya aktif mencari peluang investasi yang bagus. Dengan begitu, siapa tahu, semuanya bakal berubah ke arah yang lebih baik.

Untungnya, harapan saya terjawab. Keadaan yang tadinya stagnan mulai pulih, seiring dengan diberlakukannya kebijakan New Normal pada awal bulan Juni kemarin. Pasar saham pun bangkit dari pandemi, dan saham baru yang saya beli pelan-pelan "unjuk gigi".

Dalam beberapa minggu saja, saham tadi melesat harganya, membikin loss yang saya alami berkurang. Alhasil, keadaan portofolio saya pun membaik.

Saat blog ini ditulis, saya masih menyimpan saham-saham saya. Saya merasa belum waktunya menjualnya, meskipun kekhawatiran bahwa IHSG bakal "rontok" seperti sebelumnya tetaplah terbuka. Sebab, saya percaya perekonomian Indonesia bisa bangkit dari pandemi.

Dari investasi kali ini, saya jadi belajar 3 hal.

Pertama, pasar saham itu seperti sebuah "teka-teki", yang begitu sulit diprediksi. Apapun bisa saja terjadi, sehingga investor yang "bermain" di dalamnya mesti siap menerima semua kemungkinan yang bakal muncul, baik yang menyenangkan maupun yang menyedihkan.

Kedua, kalemlah ketika yang lain panik. Mungkin ini lebih gampang diucapkan daripada dilakukan. Namun, sikap ini justru menjadi "titik kritis" yang menentukan nasib investasi yang kita lakukan. Andaikan dulu saya cepat gusar menanggapi situasi pasar yang sedang "bearish", maka mungkin saja, kerugian yang saya alami bakal membengkak.

Ketiga, menyiapkan dana cadangan sama pentingnya dengan menyiapkan modal investasi. Saya cukup mujur karena masih punya dana cadangan, sehingga dalam situasi yang paling sulit sekalipun, saya masih bisa menggenggam saham-saham saya. Dengan demikian, sebelum memasukkan banyak uang ke pasar saham, sebaiknya kita memiliki dana cadangan yang cukup untuk berjaga-jaga.

Akhir kata, saya ingin mengutip satu kalimat dari seorang Fund Manager Fidelity, yakni Peter Lynch. Menyangkut soal investasi saham, dalam bukunya yang berjudul "Beating The Street", Lynch pernah berkata,

"Nobody can predict interest rates, the future direction of the economy, or the stock market. Dismiss all such forecasts and concentrate on what's actually happening to the companie in which you've invested."

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun