Bertahun-tahun yang lalu, saya sempat mendengar petuah bahwa kalau ingin diterima kerja dengan cepat, maka kita mesti kenal "orang dalam" perusahaan.
"Orang dalam" yang dimaksud bisa berupa saudara, teman, atau bahkan kenalan yang memang memiliki jabatan tertentu di perusahaan tersebut, sehingga bisa membantu memuluskan perekrutan yang dimaksud.Â
Dengan adanya bantuan dari "orang dalam", meskipun hasil tesnya kurang begitu bagus, namun seseorang bisa saja diterima bekerja tanpa tendeng aling-aling.
Perekrutan semacam ini memang sarat dengan unsur nepotisme, tetapi dalam sejumlah kasus, tidak ada yang bisa menyalahkannya. Maklum, keputuskan dalam memperkerjakan seseorang sepenuhnya berada di bawah kendali perusahaan.
Tidak ada pihak manapun yang bisa leluasa mengintervensi wewenang tersebut. Makanya, jangan heran, pada masa sekarang, praktik ini masih cukup sering dijumpai di sejumlah perusahaan yang sistem perekrutannya belum begitu terbuka.
Dari situ terlihat bahwa keberadaan "orang dalam" ternyata bisa begitu berpengaruh terhadap "nasib" seseorang. Jika punya koneksi "orang dalam" yang kuat, maka seketat apapun persaingan dalam memperoleh pekerjaan, semuanya bisa dilewati dengan relatif mudah.Â
Jadi, faktor "orang dalam" dapat menjadi "bintang keberuntungan" dalam perjalanan karier seseorang.
Tak hanya dalam urusan pekerjaan, faktor "orang dalam" juga bisa mempengaruhi keputusan investasi yang diambil oleh investor saham. Keberadaan "orang dalam", terutama yang memegang saham dalam jumlah yang besar, bisa menjadi salah satu penilaian investor dalam mengukur kondisi perusahaan yang sesungguhnya dan mengetahui prospek bisnis yang dijalankannya.
Meskipun terkesan subyektif, namun penilaian semacam ini sulit diabaikan, mengingat yang lebih memahami kondisi perusahaan ya "orang dalam" itu sendiri. Makanya, keputusan mereka dalam menjual atau membeli saham perusahaan bisa memengaruhi persepsi investor dalam berinvestasi.
Biarpun sektor usahanya berbeda (yang satu bergerak di sektor ritel dan yang lain "bermain" di sektor perkapalan), namun keduanya memiliki kesamaan, yakni mampu mencatatkan kinerja yang begitu bagus sepanjang semester 1 pada tahun 2020. Makanya, jangan heran kalau harga sahamnya kemudian melejit melampaui level tertingginya.
Meski begitu, saat akan berinvestasi, saya agak sulit memilih satu di antara keduanya. Masing-masing mempunyai plus-minusnya tersendiri. Yang saham ritel diketahui mencatatkan kenaikan penjualan dan laba bersih di atas 30% secara year on year, membagikan dividen dalam jumlah yang besar, dan mempunyai brand yang cukup terkenal di masyarakat.
Namun, sayang, sahamnya kurang begitu likuid diperdagangkan. Alhasil, kalau berinvestasi di saham ini, maka saya bisa susah menjualnya kalau-kalau sedang butuh uang. Â Â
Sementara, yang saham perkapalan memiliki prospek yang bagus, terpilih menjadi salah satu "penghuni baru" IDX80, dan sangat aktif diperjual-belikan.
Namun, sayang, saya masih ragu dengan tata kelola perusahaannya, mengingat beberapa tahun lalu, sahamnya pernah disuspen karena perusahaan mengalami gagal bayar atas utang yang dimilikinya.
Oleh sebab itu, agak sulit bagi saya untuk menentukan saham mana yang layak dibeli. Namun demikian, setelah meneliti keduanya lebih dalam, saya akhirnya menemukan informasi yang cukup menarik tentang kepemilikan saham yang disimpan oleh "orang dalam". Ternyata ada perbedaan yang begitu kontras di antara keduanya.
Perbedaan tadi terletak pada transaksi saham yang dilakukan oleh "orang dalam" perusahaan tersebut. Untuk saham ritel, saya mendapati adanya pembelian yang dilakukan oleh direktur utamanya sendiri dalam dua tahun terakhir.
Dari riwayat transaksinya, sang direktur ternyata rajin membeli sahamnya sejak tahun 2019 silam. Pembelian tadi dilakukan pada bulan Maret 2019, September 2019, dan Juni 2020. Semua transaksi tadi dilakukan untuk keperluan investasi.
Sebaliknya, saham perkapalan cenderung lebih banyak dijual oleh investor mayoritasnya. Penjualan tadi bahkan begitu sering dilakukan dalam 6 bulan terakhir. Alhasil, sampai tulisan ini dibuat, jumlah saham yang dimiliki oleh investor mayoritasnya pun menyusut cukup banyak.
Dari situ, terlihat jelas bahwa saham ritel lebih layak investasi ketimbang saham perkapalan karena "orang dalam"-nya begitu percaya pada kinerja perusahaan dalam jangka panjang. Pembelian saham ritel yang dilakukan oleh sang direktur tadi menegaskan hal tersebut.
Berbeda sekali dengan saham perkapalan. Meskipun disebut-sebut mempunyai prospek bisnis yang cerah selama pandemi covid-19, namun kalau investor mayoritasnya, yang notabenenya mengetahui kondisi sesungguhnya dari perusahaan tersebut, malah menjual sahamnya secara masif, bukankah itu adalah hal yang aneh?
Penjualan tersebut boleh jadi mengindikasikan bahwa ada yang kurang beres dengan bisnis yang dijalankan perusahaan.
***
Kepemilikan saham oleh "orang dalam" memang bisa memperlihatkan kinerja sesungguhnya dari sebuah perusahaan. Makanya, dalam berinvestasi saham, saya kerap memasukkan faktor "orang dalam" ke dalam syarat penilaian.
Jika ada perusahaan yang jumlah sahamnya lebih banyak dikuasai oleh investor besar atau "orang dalam" perusahaan daripada masyarakat, maka ini menunjukkan bahwa prospek bisnis yang dimiliki perusahaan dalam jangka panjang begitu cerah. Saham-saham demikian layak dibeli.
Sebaliknya, kalau tidak ada investor besar yang mau memegang sebuah saham lebih banyak daripada masyarakat, maka boleh jadi, ini memperlihatkan bahwa ada masalah serius yang mungkin saja dialami perusahaan pada masa depan.
Sebaiknya kita menghindari saham-saham demikian. Sebab, kalau "orang dalam" saja enggan menyimpan sahamnya dalam jangka panjang, maka mengapa kita mesti tertarik membelinya?
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H