Nah, dalam mengelola kredit, manajemen bank mesti menerapkan asas kehati-hatian. Maklum, kalau sembarangan memberi utang kepada banyak orang, maka akan ada banyak kredit macet yang terjadi, dan hal itu tentu saja akan merugikan bank.
Asalkan bank punya modal inti yang berlimpah, maka sebetulnya nasabah bisa tetap bersikap tenang, meskipun situasi ekonomi sedang kurang kondusif. Hanya saja, kondisi tersebut berlaku dengan syarat bahwa tidak terjadi "rush money".
Jika "rush money" sampai menyerang sebuah bank, maka sebesar apapun modal inti yang dimiliki, bank tersebut bisa susah mencairkan semua dana nasabahnya.
Hal ini dapat dimaklumi karena bank mesti menunggu pelunasan kredit yang sudah diberikan terlebih dulu agar bisa "mengembalikan" uang nasabahnya.
Pelunasan kredit ini jelas memakan banyak waktu, sebab para debitur belum tentu sanggup membayar utangnya dalam waktu cepat.
Alhasil, ketika mengalami "rush money", maka bank biasanya tidak dapat segera mencairkan uang nasabahnya.
Hal ini tentu bisa membikin nasabah menjadi senewen. Karena susah menarik uangnya, maka mereka dapat berkeluh kesah di media sosial, dan hal ini bisa memicu keresahan di masyarakat.
Bisa-bisa masyarakat lain juga ikut-ikutan menarik uangnya di bank lain demi mengamankan dananya. Kalau hal itu sampai terjadi, maka bisa saja, akan ada begitu banyak bank yang kolaps.
Kejatuhan perbankan akibat "rush money" tentu saja merugikan sejumlah pihak. Mulai dari (1) karyawan bank yang terpaksa di-phk, (2) debitur yang jadi susah meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan harian dan menjalankan bisnis, (3) investor yang investasinya merugi akibat kejatuhan harga saham, hingga (4) negara yang masuk ke jurang resesi. Singkatnya, krisis di sektor perbankan mampu menciptakan "efek domino", yang berdampak secara luas.
Menyikapi Hoaks dengan Bijak