Munculnya sejumlah drama Korea di layar televisi dalam beberapa minggu belakangan menyisakan sebuah "tanda tanya" di pikiran saya. Tadinya saya menduga, sinema tersebut sengaja ditayangkan dalam rangka menyambut Lebaran.Â
Wajar, libur lebaran memang menjadi momen yang tepat untuk "memanjakan" pemirsa televisi, sehingga ada banyak stasiun tv swasta yang "berlomba" menayangkan sinema berkualitas.
Jika dulu banyak bermunculan sinema dari dataran Tiongkok yang dibintangi oleh Andy Lau, Jackie Chan, Jet Lee, atau Donnie Yen, maka, beberapa tahun belakangan, yang lebih sering tayang di layar kaca ialah sinema-sinema yang berasal dari Korea Selatan.Â
Buktinya, saat tulisan ini dibuat, sedang tayang beberapa drama Korea yang cukup populer, seperti The Legend of The Sea dan The World of The Married.
Kedua drama tadi mungkin hanyalah "contoh kecil", sebab pada periode berikutnya, bisa saja akan tayang drakor-drakor lainnya, mengingat animo masyarakat Indonesia yang terbilang besar terhadap sinema dari Korea Selatan. Alhasil, layar televisi mungkin akan lebih banyak "dihiasi" berbagai macam cerita mengharu-biru dari Negeri Ginseng.
Fenomena ini boleh jadi mengisyaratkan bahwa telah terjadi "kekosongan" dalam industri sinetron tanah air. Harus diakui, kualitas sinetron-sinetron "made in Indonesia" belum bisa disamakan dengan drama-drama asal Korea Selatan. Bukan bermaksud merendahkan, tetapi kalau kita telisik lebih dalam, maka, akan tampak perbedaan yang kontras.
Hal ini bisa dilihat dari respon penonton. Betul bahwa sinema dari Korea Selatan begitu digandrungi oleh orang Indonesia. Baik tua maupun muda, baik lelaki maupun perempuan, rata-rata menyukai sinema tadi dengan berbagai macam alasan, mulai dari paras aktrisnya yang rupawan hingga kedalaman cerita yang ditampilkan.
Namun, apakah respon yang sama akan muncul kepada orang Korea saat menonton sinetron yang cukup populer dari Indonesia, seperti Cinta Fitri, Ganteng-Ganteng Serigala, atau bahkan Tersanjung? Belum tentu. Buktinya, sampai sekarang, saya belum mendengar ada orang Korea yang begitu "tergila-gila" menyaksikan sinetron Indonesia!
***
Hal ini tentu sangat disayangkan, mengingat produksi sinetron termasuk ke dalam industri kreatif. Meskipun belum begitu banyak berkontribusi terhadap pertumbuhan PDB, namun, kalau dikelola dengan baik, bukan mustahil industri kreatif di Indonesia bisa menjadi "ladang emas" yang baru bagi perekonomian nasional.
Tanda-tanda berkembangnya industri kreatif tadi bisa dilihat dari beragamnya konten berkualitas karya anak bangsa di youtube. Meskipun umumnya berformat web series, namun, konten yang ditampilkan ternyata menawarkan sesuatu yang berbeda.
Sebut saja web series Yakin Nikah. Web series ini terdiri atas 5 episode, bercerita tentang penjalanan wisata yang dilakukan oleh sepasang pengantin baru, yang penuh pergolakan emosi.
Saya cukup menikmati web series ini, dan melihat "potensi" di dalamnya. Sebab, kalau dikembangkan lebih lanjut, maka, web series ini berpotensi menjadi sinetron berkualitas, yang mirip dengan drama Korea.
Makanya, menurut saya, jika ingin memperbaiki kualitas sinetron di Indonesia, maka, para sineas bisa mencontoh format web series tadi. Sebab, format web series yang umumnya pendek-pendek membikin cerita lebih fokus.
Dengan adanya keterbatasan jumlah episode, maka, sineas akan memaksimalkan setiap menit-setiap detik untuk menyajikan adegan terbaik dalam sinema. Alhasil, cerita yang ditampilkan menjadi lebih "bernas".
Hal ini tentu berbeda dengan ciri khas sinetron-sinetron Indonesia, yang umumnya mempunyai alur cerita yang begitu panjang. Jika drama Korea biasanya memiliki jumlah episode sekitar 16 buah, maka, sinetron Indonesia bisa lebih banyak lagi.
Maka, jangan heran kalau pemirsa dituntut mempunyai "stamina" yang kuat saat menonton sinetron Indonesia sebab satu judul sinetron saja bisa terdiri atas beberapa ratus episode!
Meskipun ratting yang dihasilkan terbilang tinggi, namun, karena ceritanya "beranak-cucu" begitu, maka, sinetron tadi tidak begitu berbobot. Oleh sebab itu, sinetron demikian hanya memberi hiburan semata, tetapi tidak menyampaikan makna yang mendalam bagi pemirsanya.
Jika format "beranak-pinak" tadi terus dipertahankan, maka, dalam jangka panjang, sinetron-sinetron tadi akan sepi penonton. Produksi sinetron untuk televisi berpeluang tertekan, sebab pemirsa sudah bosan menyaksikan sinetron yang peluh dengan lika-liku begitu.
Apalagi sekarang televisi juga mesti bersaing dengan layanan streaming, macam youtube dan netflix, yang memungkinkan setiap orang bebas memilih tontonan sesuka hati.
Alhasil, kalau terus mengutamakan ratting dan mengabaikan kualitas cerita, maka, industri sinetron di Indonesia bakal stagnan atau bahkan turun.
***
Untuk menciptakan industri sinetron yang baik, tentu dibutuhkan proses yang panjang. Korea Selatan saja membutuhkan waktu sedikitnya tiga dekade agar sinema-sinema yang dihasilkan bisa mendunia seperti sekarang.
Oleh sebab itu, kalau ingin meniru keberhasilan Korea dalam hal memasarkan sinema, maka, sineas di tanah air mesti bersedia merombak tatanan produksi yang sudah usang dengan yang terbaru.
Meskipun pada awalnya terkesan mencontek format yang sudah ada, namun, seiring dengan berjalannya waktu, akan terbentuk sebuah identitas yang jelas dalam industri sinetron di tanah air.
Dengan demikian, sinetron-sinetron yang dihasilkan oleh sineas tanah air bakal mempunyai corak yang berbeda, sehingga hal ini menjadi daya tarik bagi masyarakat dunia. Jika hal itu bisa terwujud, maka, jangankan orang Indonesia, suatu saat nanti, orang Korea pun bisa menggandrungi sinetron yang diproduksi anak bangsa.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H