Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menonton "Film Sadis" Bisa Memicu Sifat Bengis?

17 Mei 2020   10:01 Diperbarui: 17 Mei 2020   09:58 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
m.gettyimagaesbank.com

Suasana pagi yang "cerah" mendadak menjadi "mendung" sewaktu saya membaca kasus NF di sebuah koran. NF adalah remaja berusia 15 tahun yang menjadi tersangka atas kasus pembunuhan seorang balita pada bulan Maret silam.

Peristiwa yang terjadi di kawasan Sawah Besar itu membikin geger warga sekitar. Bukan hanya karena pembunuhan itu dianggap begitu kejam, tetapi juga karena NF mengaku tidak menyesal sedikit pun atas perbuatannya.

Polisi kemudian melakukan penyelidikan untuk mengungkap motif NF. Hasilnya? Sebelum melakukan pembunuhan, NF ternyata pernah mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh tiga lelaki.

Tragisnya, ketiga pelaku merupakan kerabat NF sendiri. Karena sering mendapat perlakuan demikian, maka, NF pun hamil dan trauma berat.

Meskipun terasa begitu sulit, namun, NF memilih menyembunyikan emosi tersebut sendirian. Ia takut, kalau keluarga sampai tahu, maka, akan timbul masalah yang lebih besar. Ia tidak ingin keluarganya hancur berantakan akibat peristiwa itu.

Namun, sikap itu justru "merusak" jiwa NF. Pelan-pelan emosi negatif yang bersumber dari kebencian itu mulai menyeruak dalam kesehariannya.

Tanda-tanda kemunculan emosi tadi bisa dilihat dari gambar-gambar yang dibuat NF. Gambar-gambar itu memperlihatkan nuansa muram di dalamnya.

Emosi tadi juga diperkuat lewat beberapa film yang suka ditonton NF, seperti Slender Man dan Chucky. Film yang menceritakan penculikan dan pembunuhan itu boleh jadi memicu "sisi psikopat" dalam diri NF, sehingga ia tega membunuh korban yang notebenenya masih merupakan tetangganya sendiri.

***

Dalam artikel ini, saya enggan mengupas kasus NF lebih jauh. Sebab, kasusnya masih bergulir di wilayah hukum, sehingga belum diketahui apakah ia bersalah atau tidak. Jadi, menilai perbuatan yang dilakukan NF hanya akan menimbulkan "spekulasi" yang kurang begitu bermanfaat.

Namun demikian, ada satu pertanyaan yang cukup mengganjal di pikiran saya. Yakni: "Apakah menonton film pembunuhan bisa membangkitkan "sisi psikopat" dalam diri seseorang, seperti yang dialami oleh NF?"

Pertanyaan ini cukup penting diajukan, terutama bagi orang yang suka nonton film seperti saya. Dalam beberapa tahun belakangan, saya memang senang mengoleksi film dari berbagai genre. Mulai dari yang bertema percintaan hingga yang bernuansa horor.

Di antara sekian banyak judul film yang pernah saya tonton, ada beberapa yang bercerita tentang pembunuhan, seperti The Silence of The Lambs, American Psyco, dan Chucky. Harus diakui, film-film tadi menunjukkan adegan pembunuhan yang cukup "vulgar", sehingga bagi yang kurang nyaman melihat tontonan yang berdarah-darah, sebaiknya melewatkan film-film tersebut.

Dari pengalaman yang sudah-sudah, sesungguhnya saya tidak merasakan perbedaan yang nyata di batin saya setelah selesai menyaksikan film tadi. Walaupun ceritanya cukup menegangkan, namun, tidak terbersit di pikiran saya untuk meniru adegan kekerasan di dalamnya.

Hal itu bisa terjadi karena pemikiran saya sudah cukup matang, sehingga bisa membedakan mana yang mesti ditiru dan mana yang tidak. Alhasil, film-film tadi tidak lantas mempengaruhi pemikiran saya untuk melakukan kekerasan tertentu.

Meski begitu, mungkin akan lain reaksinya kalau yang menonton adalah anak-anak dan remaja. Karena pola pikir mereka belum begitu matang, maka, adegan kekerasan di film tadi bisa saja membekas di batin mereka.

Berdasarkan pengalaman, efek yang ditimbulkan oleh sebuah film memang bisa begitu berbeda antara anak-anak dan orang dewasa. Contohnya, sewaktu masih kecil, saya pernah menonton film Jailangkung. Pada saat itu, film tersebut begitu populer, sehingga saya pun tertarik menyaksikannya.

Hasilnya? Film itu "sukses" membikin saya merinding selama seminggu lebih! Mungkin terkesan agak "lebay", tetapi setelah melihat film tadi, saya jadi takut ke kamar mandi sendirian atau keluar rumah malam-malam. Hahahaha.

Namun demikian, sewaktu saya menonton film yang sama setelah saya dewasa, anehnya, perasaan takut yang saya alami saat masih kecil tidak lagi terasa. 

Saya tidak sampai merinding ketakutan, tidak waswas saat ke kamar mandi sendirian, dan tidak cemas ketika mesti berjalan ke tempat yang sepi pada malam hari!

***

Dari situ terlihat bahwa kedewasaan seseorang menjadi faktor pembeda terhadap respon yang muncul saat seseorang terpapar tayangan yang bernuansa horor atau sadis. 

Dalam kasus pembunuhan di atas, kedewasaan NF mungkin belum tumbuh dengan baik, sehingga tontonan-tontonan yang banyak menyuguhkan adegan kekerasan bisa mempengaruhi kondisi batinnya.

Walaupun bukan satu-satunya alasan, namun, kalau terus-menerus melihat adegan kekerasan di film, maka, efeknya bisa memicu kekerasan secara fisik dan mental. Apalagi kalau sebelumnya yang bersangkutan mempunyai masalah terpendam. Boleh jadi, hal itu membikin yang bersangkutan menjadi lepas kendali.

Kasus yang dialami oleh NF adalah sebuah "tragedi". Di satu sisi, ia adalah pelaku pembunuhan, tetapi di sisi lain, ia adalah korban dari pelecehan seksual. Oleh sebab itu, kasus ini begitu rumit ditangani, sehingga diperlukan kebijaksanaan hakim untuk memberi keputusan hukum yang adil bagi NF.

Tentu saja kita berharap kasus tersebut tidak terulang pada masa depan. Untuk mewujudkan hal itu, tontonan yang dikonsumsi anak-anak dan remaja tentu perlu dibatasi sedemikian rupa, terutama kalau ditemukan cukup banyak unsur-unsur kekerasan di dalamnya.

Jangan sampai, karena orangtua lalai mengawasi film-film yang ditonton anak, maka psikologis anak menjadi bermasalah, sehingga hal itu bisa "meracuni" kepribadiannya, dari yang sebelumnya tenang hingga berubah menjadi garang.

Salam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun