Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Menyoroti "Kasus Belva" lewat Kacamata Bisnis

24 April 2020   10:21 Diperbarui: 24 April 2020   12:08 1100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nama Adamas Belva Syah Devara alias Belva mendapat banyak sorotan media sepanjang pekan ini. Sebab, perusahaan yang dikomandaninya, yaitu Ruangguru, menjadi salah satu mitra pemerintah dalam melaksanakan program Kartu Prakerja.

Hal ini dinilai memicu konflik kepentingan, mengingat Belva adalah salah satu Staf Khusus Milenial yang dibentuk Presiden Jokowi. Alhasil, muncullah polemik bahwa ia "dianggap" mendapat keuntungan bisnis karena mempunyai kedudukan di pemerintahan.

Tak lama setelah polemik tadi menyeruak ke masyarakat, Belva pun memberikan respon yang cukup mengejutkan, yakni mengundurkan diri sebagai Staf Khusus Presiden. Ia beralasan tidak ingin memecah konsentrasi Presiden dalam menangani wabah Corona yang sedang melanda tanah air, sehingga lebih memilih mengakhiri masalah tadi dengan keluar dari pemerintahan.

Meski begitu, ternyata persoalan tadi tidak serta-merta selesai, mengingat Ruangguru masih terlibat dalam program Kartu Prakerja, yang disebut-sebut menghabiskan anggaran hingga Rp 5,6 triliun. Boleh jadi, masalah tersebut bakal berkepanjangan andaikan tidak ada kebijakan yang diambil untuk meredakan persepsi publik tadi.

Kasus seperti itu memang bukan hal yang baru terjadi di Indonesia. Jika membuka catatan sejarah, kita akan menemukan kasus serupa pada masa lalu.

Pada masa Orde Baru, misalnya, kasus demikian cukup sering muncul, mengingat ada banyak pejabat yang kerap membagi-bagikan proyek kepada pihak-pihak tertentu, yang notabenenya masih mempunyai hubungan dekat dengan pejabat tersebut. Biarpun prosesnya dilakukan secara legal, namun, hal itu terkesan tidak adil dan rawan praktik korupsi.

Tak hanya di level negara, di tingkat korporasi pun, benturan kepentingan demikian juga cukup sering terjadi. Hal ini bisa dilihat transaksi afiliasi yang dilakukan oleh manajemen perusahaan.

Transaksi afiliasi adalah kegiatan bisnis di antara dua pihak atau lebih yang mempunyai hubungan tertentu dalam sebuah kepemilikan. Sederhananya, transaksi ini ibarat jual-beli suatu produk atau jasa "antarsaudara" dalam satu keluarga.

Transaksi ini sebetulnya sah-sah saja dilakukan. Tata caranya juga sudah mempunyai payung hukum yang jelas, sehingga tidak ada yang bisa melayangkan gugatan, sepanjang transaksi tadi dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang berlaku.

Meski begitu, dalam praktiknya, tetap saja timbul kesan negatif karena ada pihak-pihak tertentu yang dianggap meraup keuntungan berkat adanya transaksi tersebut. 

Makanya, agar terhindar dari konflik kepentingan, transaksi afiliasi yang dilakukan oleh manajemen perusahaan biasanya diumumkan secara terbuka kepada masyarakat.

Hal ini mesti dilakukan demi mewujudkan tata kelola perusahaan yang baik. Jangan sampai masyarakat mempunyai persepsi negatif karena manajemen melakukan transaksi afiliasi secara diam-diam.

Investor umumnya tidak terlalu menyukai transaksi afiliasi karena dinilai bisa merugikan para pemegang saham. Maklum, dengan melakukan transaksi ini, mungkin saja manajemen "memanfaatkan" modal yang disetorkan oleh para investor untuk memperkaya diri sendiri.

Contohnya begini. Katakanlah ada seseorang bernama A, yang menjadi direktur utama di perusahaan B. Suatu hari, A ingin melakukan ekspansi dengan mengakuisisi perusahaan lain dan hal itu mendapat restu dari pemegang saham.

Perusahaan yang ingin diakuisisi adalah perusahaan C. Sewaktu ditelusuri pemiliknya, ternyata baru diketahui bahwa si A mempunyai sejumlah saham di perusahaan C. Namun demikian, informasi ini tidak diketahui oleh para pemegang saham.

Akuisisi pun jadi dilakukan dengan menggunakan modal yang dimiliki para pemegang saham. Karena memiliki sekian lembar saham di perusahaan C, si A jelas mendapat untung. Berkat transaksi tadi, uang dari pemegang saham jadi "pindah" ke kantong si A.

Hal ini bisa merugikan para pemegang saham, terutama kalau akuisisi tadi ternyata tidak menimbulkan dampak positif bagi kinerja saham perusahaan. 

Alih-alih mampu meningkatkan pendapatan, akuisisi tersebut malah menimbulkan kerugian karena perusahaan yang diakuisisi ternyata mempunyai fundamental yang lemah dan cenderung merugi. Alhasil, harga sahamnya pun justru jadi minus pascaakuisisi, dan para pemegang saham pun mengalami capital loss.

Walaupun berpotensi menciptakan konflik kepentingan, namun, transaksi afiliasi juga mempunyai sisi lain yang mesti dilihat lewat "kacamata" yang berbeda. Sebab, tidak semua transaksi afiliasi menimbulkan kerugian bagi perusahaan.

Ada beberapa transaksi afiliasi yang dilakukan demi mendukung kinerja perusahaan. Contohnya ialah transaksi afiliasi yang dilakukan oleh Sido Muncul pada tahun 2018 silam.

Dalam transaksi ini, perusahaan membeli resep jamu dari Keluarga Hidayat senilai Rp 33,95 miliar. Dana yang dipakai untuk melakukan transaksi itu berasal dari modal yang dimiliki perusahaan.

Selain untuk mengurangi beban royalti yang mesti disetorkan perseroan setiap tahun kepada Keluarga Hidayat, transaksi ini juga dimaksudkan untuk mengantisipasi agar resep tadi tidak dijual ke pihak lain kalau-kalau manajemen mundur dari jabatannya suatu saat nanti. Dengan demikian, hal ini bisa mengurangi risiko, sekaligus menjaga kelangsungan bisnis perusahaan pada masa depan.

Biarpun terdapat benturan kepentingan, namun, jika ditelusuri itikadnya, transaksi afiliasi yang dilakukan Sido Muncul masih bisa diterima, karena hal itu bertujuan mendukung keberlangsungan perusahaan pada kemudian hari. Hal ini tentu tidak akan menimbulkan kerugian bagi para pemegang saham, sebab maksud dan prosedurnya sudah dilaksanakan sesuai dengan regulasi.

Oleh sebab itu, untuk menilai baik-buruknya sebuah transaksi afiliasi, kita mesti memahami maksud dilakukannya transaksi tersebut, mengetahui pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, dan menelusuri prosedur pelaksanaannya. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi ketidakpercayaan masyarakat terhadap integritas manajemen.

Bagaimanapun, benturan kepentingan yang timbul akibat adanya transaksi afiliasi adalah sesuatu yang wajar. Asalkan disampaikan secara terbuka, mulai dari maksud hingga prosesnya, transaksi tersebut sah-sah saja dilakukan.

Oleh sebab itu, untuk meminimalkan munculnya konflik kepentingan, pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi tadi mesti bersedia bersikap transparan, apalagi jika nilai transaksinya besar. Semua itu dilaksanakan demi menjaga reputasi pihak yang bersangkutan, serta menumbuhkan kepercayaan di tengah masyarakat.

Salam.

Referensi:
kompas.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun