Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Parno di Lantai Bursa, dari "Drama" Perang Minyak hingga "Teror" Virus Corona

14 Maret 2020   09:01 Diperbarui: 14 Maret 2020   10:46 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepanjang pekan ini, bursa saham di tanah air terus mendapat "guyuran" sentimen negatif. Hal ini terlihat sejak hari pertama perdagangan. Pada hari Senin (9/3) saja, IHSG sudah terperosok hingga 6,58%!

Pemicunya adalah ketidaksepakatan pembatasan jumlah produksi minyak antara Arab Saudi dan Rusia. Sebagai produsen minyak terbesar di dunia, kedua negara ini ternyata kurang begitu "akur" dalam menentukan kebijakan produksi.

Arab Saudi sebetulnya ingin memangkas jumlah produksi minyak sebesar 600 ribu barel per hari. Hal ini dilakukan untuk meredam penurunan harga minyak yang terjadi sejak dunia terpapar Virus Corona.

Akibat "teror" Virus Corona, permintaan atas minyak memang berkurang karena sejumlah pabrik dan perusahaan transportasi berhenti beroperasi. Hasilnya tentu sudah bisa ditebak. Sejak akhir tahun 2019, harga minyak terus merosot ke level yang cukup mengkhawatirkan.

Untuk mencegah kejatuhan harga yang semakin dalam, Arab Saudi dan sejumlah negara yang tergabung di dalam OPEC berkomitmen memangkas produksi minyak untuk menyeimbangkan antara permintaan dan penawaran.

Sayangnya, komitmen ini kurang mendapat tanggapan yang positif dari negara lain di luar OPEC, seperti Rusia. Rusia ternyata ogah "menggunting" jumlah produksi minyak. Rusia tampaknya mempunyai pertimbangan tertentu, sehingga memutuskan tetap memproduksi minyak dalam kapasitas normal.

Hal ini kemudian memicu konflik. Arab Saudi langsung merespon sikap Rusia dengan menaikkan jumlah produksi minyak sebesar 1 juta barel per hari terhitung pada April 2020. Sontak, hal ini menyebabkan harga minyak dunia langsung terjun bebas hingga 27%!

Kejatuhan harga minyak sedalam itu akhirnya "menyeret" laju IHSG. Saham-saham yang berhubungan dengan pergerakan harga minyak pun "bergelimpangan".

Sebut saja saham Medco yang harganya jeblok hingga 19% dan Elnusa 12%. Pada hari itu, IHSG ditutup dengan penuh kegetiran!

Beberapa hari kemudian, IHSG lagi-lagi mengalami tekanan yang kuat. Tekanan ini berasal dari berita bahwa WHO menyatakan wabah Virus Corona sebagai pandemi.

Kabar ini jelas membikin pasar tambah "parno" (paranoid). Kekhawatiran yang berlebih atas dampak negatif penyebaran Virus Corona terhadap pertumbuhan ekonomi kemudian semakin "menenggelamkan" IHSG. Alhasil, pada hari Kamis (12/3), IHSG ditutup turun 5% ke angka 4895!

Panic Selling
Tidak bisa dipungkiri bahwa minggu ini adalah masa-masa yang "berat" bagi perekonomian Indonesia. Sampai-sampai Menteri Keuangan, Sri Mulyani, pun mengamini keadaan tersebut. Dalam sebuah kesempatan, ia mengeluh bahwa menjadi menteri keuangan saat ini sangatlah berat!

Keluhan tadi tentu bisa dimaklumi, sebab sejumlah persoalan datang berbarengan. Belum selesai soal Virus Corona, pemerintah sudah dihadapkan masalah perang produksi minyak antara Arab Saudi dan Rusia. Hal ini tentu membikin para pemangku kebijakan "pusing tujuh keliling".

Hal yang sama juga dialami para investor saham. Sejak masalah tadi mengemuka, pasar saham memang cenderung volatil. Investor pun "panas-dingin" dibuatnya.

Perubahan harga yang signifikan tadi salah satu penyebabnya adalah panic selling yang dilakukan investor. Akibat terbawa kepanikan, secara irasional, para investor menjual saham-sahamnya. Hal ini pun menyebabkan IHSG terjerembab cukup dalam.

Seperti Virus Corona, kepanikan yang menjangkiti investor pasar saham memang bisa "menular" dengan cepat. Investor yang tadinya "kalem" bisa berubah menjadi "ganas" ketika melihat orang lain berduyun-duyun mengobal sahamnya.

Alhasil, tanpa pikir panjang, investor tadi pun ikut-ikutan melego sahamnya karena khawatir menanggung kerugian yang besar!

Untuk meredakan kepanikan tersebut, pemerintah pun sudah menerapkan 3 "jurus".

  • Membatasi Auto Reject Bawah

Sesuai dengan kesepakatan antara Bursa Efek Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, auto reject bawah diberlakukan jika IHSG turun di bawah 5% dan saham-saham amblas hingga 7%.

Peraturan yang baru ditetapkan pada minggu ini dimaksudkan untuk membatasi penurunan harga yang masif, sebagaimana terjadi di bursa saham lain. Dengan adanya peraturan ini, kepanikan diharapkan bisa ditekan sedemikian rupa sehingga pasar saham bisa kondusif kembali.

Sejauh ini, peraturan ini baru terjadi pada perdagangan hari Kamis (12/3) dan Jumat (13/3). Pada hari Kamis, perdagangan justru ditutup lebih awal setelah IHSG anjlok 5% sekitar pukul 15.30. Sementara, pada hari Jumat, perdagangan sempat "dibekukan" selama 30 menit, setelah IHSG dibuka turun 5%.

Peraturan ini masih akan berlaku sampai batas waktu yang belum ditentukan.

  • Meniadakan Shortselling

Bursa Efek Indonesia memutuskan menghapus shortselling untuk sementara waktu. Shortselling dianggap "membahayakan" kondusivitas pasar karena akan ada banyak spekulan yang bermain jika peraturan ini terus diberlakukan.

Praktik shortselling dilakukan dengan cara pinjam-meminjam saham antara investor dan broker. Praktik ini lebih mirip "perjudian" daripada investasi karena sifatnya yang sangat spekulatif. (Untuk penjelasan lebih lanjut soal shortselling, silakan baca artikel saya yang berjudul: "Cara Bertransaksi Saham 'Tanpa Modal'").

Praktik ini disinyalir menjadi salah satu "biang keladi" atas kejatuhan pasar saham pada tahun 2008 silam. Pada waktu itu, IHSG semakin ambyar, setelah ada banyak investor yang melakukan praktik shortselling.

Efek yang ditimbulkan tentu saja sangat mengerikan, baik untuk psikologis investor maupun untuk tingkat kepercayaan publik. Agar kejadian serupa jangan sampai terulang, peraturan tentang shortselling pun ditiadakan.

Di tengah kondisi ekonomi yang "angin-anginan" seperti sekarang, pemerintah memberikan suntikan "vitamin" berupa stimulus ekonomi. Di antaranya adalah pemberian diskon tiket pesawat untuk sejumlah destinasi wisata. Diskon yang diberikan terbilang lumayan besar, hingga 50%!

Insentif ini diberikan untuk menggejot perekonomian di sektor pariwisata. Wajar, di antara sejumlah sektor, pariwisata adalah salah satu sektor yang paling terdampak akibat penyebaran Virus Corona.

Buktinya, jumlah turis yang berkunjung ke beberapa objek wisata, seperti Yogyakarta dan Bali, mengalami penurunan. Kalau hal ini terus dibiarkan, tentu dampaknya akan kurang baik bagi perekonomian nasional.

Stimulus lainnya adalah relaksasi beberapa pajak, yakni PPh 21, PPh 22, dan PPh 25. Relaksasi ini berupa pemangkasan pajak penghasilan dan ekspor-impor.

Stimulus ini diharapkan bisa mengurangi beban yang dipikul oleh sejumlah perusahaan, terutama yang bergerak di sektor manufaktur dan perdagangan. Maklum, selain pariwisata, industri manufaktur memang terkena imbas yang cukup signifikan. 

Dengan adanya relaksasi tadi, perusahaan dapat terus menggejot produksi dan meningkatkan penjualan tanpa terlalu dibebani oleh persoalan fiskal.

Yang terakhir ialah pemangkasan suku bunga acuan. Stimulus ini memang belum diberikan. Namun, kemungkinan besar, Bank Indonesia akan kembali memotong suku bunga acuan pada bulan Maret ini.

Hal ini dilakukan untuk meredam keperkasaan dollar terhadap rupiah. Wajar, sampai artikel ini dibuat, rupiah ditutup melemah 14.770 per dollar. Pelemahan ini sudah terjadi sejak pertengahan februari silam, dan belum diketahui sampai kapan akan berlanjut.

Dengan adanya pemangkasan suku bunga acuan, diharapkan bisa nilai tukar antara rupiah dan dollar dapat stabil.

Strategi Investasi
Tentu saja ketiga "jurus" tadi belum akan terasa efeknya dalam waktu dekat. Semua butuh proses. Oleh sebab itu, jangan heran, jika sekarang pasar saham sedang memasuki masa konsolidasi.

Hal itu bisa terjadi karena investor cenderung bersikap "wait and see". Sepertinya investor ingin memastikan terjadinya perubahan positif akibat diberlakukannya ketiga "jurus" tadi. Setelah itu, barulah mereka kembali masuk ke pasar saham.

Meski begitu, masa konsolidasi yang terjadi pada saat ini sebetulnya membuka peluang untuk melakukan investasi. Sebab, boleh dibilang pasar saham sedang mengadakan "pesta diskon" besar-besaran. Ada begitu banyak saham-saham bagus yang dihargai murah.

Saham-saham bluechip, di sektor finansial dan consumer good, bisa dilirik. Selain rata-rata mempunyai fundamental yang bagus, saham-saham di kedua sektor tadi umumnya mempunyai kapitalisasi pasar yang besar, sehingga pergerakan harganya cenderung mengikuti laju IHSG.

Tentu saja investor tidak perlu menggelontorkan dana besar sekaligus untuk memborong saham, tetapi bisa mulai mencicil pembelian sedikit demi sedikit. Jika kondisi pasar kembali kondusif, barulah investor masuk dengan kekuatan penuh.

Dengan demikian, tingkat risiko bisa dikurangi, tetapi potensi keuntungan yang besar masih dapat diraih.

Salam.

Referensi: Detik, CNN, Bisnis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun