"Pentingnya Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri"
Demikianlah judul seminar investasi yang saya ikuti pada tanggal 10 Maret kemarin. Seminar yang dibawakan dengan penuh semangat oleh Kepala Kantor Perwakilan Jakarta Bursa Efek Indonesia ini memang cukup menarik.
Isinya pun relevan dengan kondisi pasar modal sekarang, yang "konon" katanya lebih banyak dikuasai oleh investor asing daripada investor domestik.
Saat mendengar informasi ini, sejujurnya saya tidak begitu terkejut. Sebab, sudah lama saya tahu mengetahui hal tersebut. Memang harus diakui bahwa jumlah investor lokal yang menanamkan modal di pasar saham Indonesia masih kalah banyak dibandingkan dengan investor asing.
Hal ini tentunya "berseberangan" dengan kondisi negara tetangga, yang jumlah investor dalam negerinya lebih banyak atau minimal berimbang dengan investor asing.
Kalau dibiarkan terlalu lama, tentu kondisi ini kurang baik. Sebab, kalau investor asing berduyun-duyun melepas sahamnya, IHSG bisa ambruk, dan tidak akan ada lagi yang mau berinvestasi di tanah air.
Padahal, tak bisa dipungkiri kalau kita membutuhkan "suntikan modal" dari luar untuk menggenjot perekonomian tanah air.
Maklum, dengan modal yang berasal dari kantong sendiri, seperti akan butuh waktu bertahun-tahun agar pertumbuhan ekonomi di Indonesia bisa terus menyaingi negara-negara lain.
Untuk itulah, arus dana yang berasal dari luar negeri diharapkan bisa terus masuk ke tanah air.
Meski begitu, bukan hal yang mudah untuk "menggoda" para investor asing untuk menyetorkan modalnya di Indonesia. Wajar, ada saja halangan yang membikin investor tersebut "gentar" berinvestasi di Indonesia.
Salah satunya ialah soal ruwetnya regulasi berinvestasi di Indonesia.
Lamanya proses perizinan dalam memulai bisnis dan investasi ini menyebabkan ketidakpastian yang lebih besar bagi para investor. Investor jadi enggan menunggu terlalu lama sebab hal itu hanya akan membuang-buang waktu, sehingga kesempatan-kesempatan yang baik bisa terlewat begitu saja.
Maka, jangan heran, saat ekonomi Tiongkok sedang "ketar-ketir" akibat perang dagang pada tahun lalu, dan ada banyak pabrik di sana yang direlokasi ke beberapa negara ASEAN, tak satu pun yang "mampir" ke Indonesia. Penyebabnya? Ya itu tadi, regulasi yang banyak dan bertele-tele.
Omnibus Law Cipta Kerja
Untuk mengatasi hal itu, pemerintah kemudian menyusun Omnibus Law Cipta Kerja. Omnibus Law sejatinya adalah metode yang digunakan untuk mengganti atau mencabut ketentuan dalam undang-undang, atau mengatur ulang beberapa ketentuan dalam UU ke dalam UU (tematik).
Tujuannya jelas. RUU ini bermaksud menyederhanakan regulasi yang ruwet-ruwet tadi agar "keran investasi" bisa mengucur dengan lebih deras, pembangunan terjadi secara merata, lapangan kerja menjadi lebih luas, sehingga masyarakat Indonesia bertambah makmur dan sejahtera.
Oleh sebab itu, ujung-ujungnya, yang diharapkan menuai keuntungan bukanlah investor atau pejabat tertentu, melainkan rakyat Indonesia. Sebab, dengan banyaknya lapangan kerja yang tercipta akibat kebijakan investasi yang berkualitas, bukankah perekonomian masyarakat Indonesia akan semakin bertumbuh?
Sayangnya, hal inilah yang sering "disalahpersepsikan" oleh sejumlah pihak. Oleh pihak-pihak tertentu, Omnibus Law dianggap hanya menguntungkan para investor saja. Padahal bukan.Â
Sebab, kalau memang demikian, mengapa draf Omnibus Law juga menyertakan poin-poin tentang ketenagakerjaan dan pemberdayaan UMKM?
Ketenagakerjaan
Poin tentang ketenagakerjaan yang terdapat dalam draf Omnibus Law Cipta Kerja menyangkut pembahasan tentang pemberian upah minimum.
Pokok-pokok kebijakan terkait upah minimum mencakup (1) kebijakan pengupahan masih tetap menggunakan sistem upah minimum, (2) upah minimum tidak turun dan tidak dapat ditangguhkan, (3) kenaikan upah minimum memperhitungkan pertumbuhan ekonomi daerah, dan (4) upah per jam dapat diberikan untuk jenis pekerjaan tertentu (konsultan, paruh waktu, ekonomi digital).
Poin lainnya ialah soal pemutusan hubungan kerja. Pokok-pokok kebijakannya ialah (1) tetap memberikan perlindungan bagi pekerja yang terkena PHK, dan (2) pekerja yang terkena phk tetap mendapatkan kompensasi PHK (berupa pesangon, penghargaan masa kerja, dan kompensasi lainnya).
Poin-poin tadi sejatinya berlaku untuk semua karyawan baik pria maupun wanita. Jadi, jangan khawatir hak-haknya akan hilang akibat adanya Omnibus Law. Justru keberadaan Omnibus Law akan melindungi hak-hak yang dimiliki karyawan dalam menjalankan pekerjaannya.
Sebut saja hak-hak tertentu, khusus karyawan perempuan, seperti cuti haid atau cuti melahirkan. Hak ini masih masih berlaku karena belum ada pembahasan yang melarang pemberian cuti tersebut. Boleh jadi, hak-hak tadi akan terus dipertahankan karena hal itu menyangkut kemanusiaan.
Jadi, sebetulnya, kalau boleh disimpulkan, Omnibus Law sejatinya bertujuan mengangkat taraf hidup masyarakat Indonesia. Pada saat ini, berdasarkan data dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, PDB masyarakat Indonesia mencapai Rp 4,6 juta per bulan.
Namun, dengan diberlakukannya Omnibus Law Cipta Kerja, PDB tadi diharapkan meningkat menjadi Rp 6,8-7 juta per bulan. Demikian selanjutnya akan terus bertumbuh pada tahun-tahun berikutnya.
Jika hal itu terjadi, boleh jadi, pada tahun 2045, Indonesia diharapkan menjadi negara maju dengan ekonomi berkelanjutan, dan rakyat Indonesia menjadi semakin kaya.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H