Salah satunya ialah soal ruwetnya regulasi berinvestasi di Indonesia.
Lamanya proses perizinan dalam memulai bisnis dan investasi ini menyebabkan ketidakpastian yang lebih besar bagi para investor. Investor jadi enggan menunggu terlalu lama sebab hal itu hanya akan membuang-buang waktu, sehingga kesempatan-kesempatan yang baik bisa terlewat begitu saja.
Maka, jangan heran, saat ekonomi Tiongkok sedang "ketar-ketir" akibat perang dagang pada tahun lalu, dan ada banyak pabrik di sana yang direlokasi ke beberapa negara ASEAN, tak satu pun yang "mampir" ke Indonesia. Penyebabnya? Ya itu tadi, regulasi yang banyak dan bertele-tele.
Omnibus Law Cipta Kerja
Untuk mengatasi hal itu, pemerintah kemudian menyusun Omnibus Law Cipta Kerja. Omnibus Law sejatinya adalah metode yang digunakan untuk mengganti atau mencabut ketentuan dalam undang-undang, atau mengatur ulang beberapa ketentuan dalam UU ke dalam UU (tematik).
Tujuannya jelas. RUU ini bermaksud menyederhanakan regulasi yang ruwet-ruwet tadi agar "keran investasi" bisa mengucur dengan lebih deras, pembangunan terjadi secara merata, lapangan kerja menjadi lebih luas, sehingga masyarakat Indonesia bertambah makmur dan sejahtera.
Oleh sebab itu, ujung-ujungnya, yang diharapkan menuai keuntungan bukanlah investor atau pejabat tertentu, melainkan rakyat Indonesia. Sebab, dengan banyaknya lapangan kerja yang tercipta akibat kebijakan investasi yang berkualitas, bukankah perekonomian masyarakat Indonesia akan semakin bertumbuh?
Sayangnya, hal inilah yang sering "disalahpersepsikan" oleh sejumlah pihak. Oleh pihak-pihak tertentu, Omnibus Law dianggap hanya menguntungkan para investor saja. Padahal bukan.Â
Sebab, kalau memang demikian, mengapa draf Omnibus Law juga menyertakan poin-poin tentang ketenagakerjaan dan pemberdayaan UMKM?
Ketenagakerjaan
Poin tentang ketenagakerjaan yang terdapat dalam draf Omnibus Law Cipta Kerja menyangkut pembahasan tentang pemberian upah minimum.