Neraca yang baik adalah neraca yang seimbang. Jumlah aset harus sama dengan jumlah antara liabilitas dan ekuitas. Kalau ada yang "jomplang", atau bahkan minus, kondisi ini menunjukkan bahwa kondisi keuangan klub sedang limbung.
Oleh karena sangat vital, UEFA menjadikan neraca sebagai acuan dalam mengukur keberlangsungan sebuah klub. Kalau ada klub yang memperlihatkan kondisi neraca yang "rapuh" (pengeluaran lebih besar daripada pemasukan), UEFA akan mengambil langkah antisipatif, bisa berupa teguran tertulis hingga sanksi.
Sejak UEFA memberlakukan peraturan Financial Fair Play, tingkat potensi krisis keuangan yang mendera klub-klub Eropa diklaim berkurang 20%. Kebijakan ini dinilai tak hanya menciptakan iklim kompetisi yang kondusif, tetapi juga mencegah risiko kebangkrutan yang sifatnya sistemik.
Simpulan
Skandal Financial Fair Play yang menimpa City memberi sebuah pelajaran bahwa tidak ada klub yang kebal terhadap hukum. Biarpun termasuk klub yang kaya raya, tetapi kalau terbukti melakukan sebuah pelanggaran, klub tersebut tetap akan mendapat hukuman yang sepadan.
Oleh sebab itu, mungkin inilah periode yang buruk bagi City. Apabila nanti upaya bandingnya ditolak, klub yang menjadi juara bertahan Liga Inggris ini tentu hanya bisa pasrah menerima hukuman. Alhasil, City cuma akan berkutat di liga domestik, dan kehilangan kesempatan dalam memburu trofi di pentas Eropa.
Bagi klub-klub lainnya, kasus ini pun bisa menjadi contoh untuk memperbaiki kinerja tim dan keuangan. Kalau ingin terus bersaing secara sehat, sebuah klub mesti mengandalkan kemampuan internal, bukannya mengharapkan uluran tangan dari empunya klub. Dengan demikian, klub akan menjadi jauh lebih mandiri dan sehat dalam mengelola keuangannya.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H