Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Menjual Saham Lebih "Sulit" Daripada Membeli Saham?

5 Desember 2019   09:01 Diperbarui: 5 Desember 2019   09:59 2253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jual Saham (sumber: www.kiplinger.com)

Pada hari Senin kemarin (2/12), saham yang saya pegang tiba-tiba "melesat" hingga lebih dari 3%. Sejak awal perdagangan, ada begitu banyak investor yang membelinya, dan hal itu kemudian mengangkat harganya sampai menembus batas tertinggi yang pernah dicapai sebelumnya.

Sebagai investor, saya tentu nyaman melihat hal itu. Betapa tidak, modal yang saya tanamkan bertambah banyak hanya dalam beberapa jam saja! Walaupun berpotensi memperoleh untung di atas 10%, saya enggan menjual saham tersebut.

Saya pikir, beberapa hari berikutnya, harga saham tadi mungkin bisa naik lebih tinggi lagi. Saya memutuskan bersabar lebih lama, sambil terus memantau situasi pasar.

Namun demikian, pada keesokan hari (3/12), perkiraan saya ternyata keliru. Alih-alih naik, harga saham tadi justru turun sekitar 2%, sehingga capital gain yang bisa saya peroleh tergerus tinggal 8% saja. 

Andaikan melepasnya kemarin, mungkin keuntungan yang saya petik dapat lebih besar daripada hari ini!

Pengalaman ini mungkin sering dialami oleh investor saham. Kadang keputusan menjual saham lebih "sulit" daripada membeli saham, dan hal ini menimbulkan dilema tersendiri bagi investor.

Kalau saham ditahan lebih lama, alih-alih melejit, harganya malah turun, dan investor mesti menanti lebih lama agar kesempatan itu datang kembali.

Sementara, apabila saham langsung dijual, beberapa hari kemudian, harganya justru terbang lebih tinggi, dan investor hanya sedikit mendapat keuntungan.

Hal yang sama juga berlaku kalau saham yang dipegang sedang mengalami capital loss. Saya ingat pernah melakukan cutloss terlalu cepat, hanya karena harga saham yang saya pegang tiba-tiba jatuh cukup dalam, sekitar 8% dari modal.

Oleh karena kurang pengalaman, saya langsung "babat habis" saham tadi, dan rugi sekitar 8%. Alasannya cukup sederhana. Daripada terus turun dan kerugian bertambah lebar, lebih baik saya menjual saham tersebut.

Setelah saya selesai melegonya, harga saham tadi memang sempat "longsor" beberapa hari berikutnya. Namun, sesuatu yang aneh kemudian terjadi.

Harga saham tersebut tiba-tiba "mantul", dan terus merangkak naik, bahkan hingga mendekati posisi harga beli yang saya ambil. Ah, andaikan bisa sedikit bersabar, kerugian saya mungkin akan lebih minim!

Keputusan Menjual Saham

Lukas Setia Atmaja juga memahami dilema tersebut. Dalam seminar investasi yang diselenggarakan pada tanggal 30 November kemarin, ia sempat berbagi cerita tentang seorang kenalannya yang melepas saham BBCA terlalu "dini".

Kenalan Lukas tadi membeli saham BBCA ketika harganya masih Rp 3.000-an per lembar. Saham itu dipilih memang untuk investasi, sehingga dengan setia ia terus menyimpannya selama bertahun-tahun.

Lukas Setia Atmaja memaparkan konsep investasi saham (sumber: dokumentasi Adica)
Lukas Setia Atmaja memaparkan konsep investasi saham (sumber: dokumentasi Adica)
Pilihan investasinya ternyata tepat. Sejak dibeli, harga saham BBCA terus naik. Sewaktu harga saham BBCA menyentuh angka Rp 20.000-an, "iman"-nya ternyata mulai goyang. Ia tergiur merealisasi keuntungan, sehingga menjual semua saham BBCA yang dimiliknya.

Setelah semua sahamnya dijual, kenalan Lukas tadi mengaku menyesal. Sebab, harga saham BBCA kemudian terus melesat. Kini saham BBCA diperdagangkan di harga Rp 31.000-an/ lembar. Andaikan dulu mampu menaklukkan "godaan", uangnya tentu akan bertumbuh berkali-kali lipat!

Sebagai seorang dosen dan praktisi pasar modal, Lukas sudah sering mendengar cerita serupa. Ia cukup berpengalaman menangani persoalan semacam ini. Untuk mengatasi masalah ini, ia kemudian mengidentifikasi kondisi-kondisi, yang bisa menjadi pertimbangan investor sebelum menjual sahamnya.

"Kondisi pertama adalah saat sedang butuh uang"

Situasi sulit, seperti jatuh sakit atau terkena musibah, bisa menjadi alasan seseorang mencairkan saham. Baik sudah untung maupun dalam keadaan rugi, saham terpaksa dijual untuk membiayai keperluan darurat.

Agar lancar dilepas, sebelum berinvestasi di sebuah saham, sebaiknya investor mempertimbangkan faktor likuiditas. Tidak semua saham yang tercatat di bursa efek indonesia bersifat likuid, alias mudah ditransaksikan. 

Ada sejumlah saham yang sepi peminat, dan investor akan sulit menjual saham jenis ini kalau ingin memperoleh dana cepat.

Makanya, pilih saham yang ramai diperdagangkan setiap hari, sehingga kalau investor tiba-tiba ingin melepas sahamnya untuk suatu kebutuhan, selalu akan ada orang lain yang mau membeli.

"Kondisi kedua adalah saat salah beli saham"

Sebagai manusia, investor bisa membikin kesalahan. Biarpun investor sudah melakukan analisis dengan cermat, belum tentu keputusan investasi yang diambil tepat. 

Bisa saja, investor salah membeli saham hanya karena tergiur oleh valuasi harga yang murah, padahal saham tadi mempunyai fundamental yang payah.

Kesalahan lain ialah salah waktu. Pilihan sahamnya mungkin sudah tepat, tetapi kalau investor salah waktu saat memasuki pasar, hasilnya bisa kurang maksimal.

Bisa saja, investor masuk ketika tren sahamnya sudah "over bought", sehingga sebentar lagi akan turun harganya. Kalau hal ini sampai terjadi, saham yang dibeli bisa "nyangkut", dan investor perlu waktu lama agar harganya kembali ke posisi beli.

Jadi, kalau investor salah beli saham dan salah pilih waktu, tidak ada alasan untuk tidak menjual saham tersebut.

"Kondisi ketiga adalah saat fundamental perusahaan memburuk"

Fundamental merupakan elemen penting yang menentukan keberlangsungan perusahaan pada masa depan. Tanpa fundamental yang kuat, jangan harap sebuah perusahaan bisa terus bertahan.

Namun demikian, fundamental sebuah perusahaan tetap tunduk pada perubahan. Sesolid apapun suatu perusahaan, kalau manajemen salah mengambil langkah bisnis, suatu saat fundamentalnya bisa goyah.

Kalau sampai terjadi demikian, barulah investor memperimbangkan menjual saham perusahaan tersebut. Perusahaan yang fundamentalnya lemah sangat rentan terhadap kebangkrutan.

Oleh karena itu, sebagai investor, kita mesti rajin memeriksa laporan keuangan dari perusahaan yang bersangkutan. Pastikan bahwa laporan neraca, laba-rugi, dan arus kas-nya cukup baik.

Dengan membaca laporan keuangan perusahaan, sebetulnya kita mengurangi satu faktor risiko dalam berinvestasi. Laporan tersebut bisa menjadi "pijakan" dalam menjual saham.

Penutup

Keputusan membeli saham adalah satu hal, sementara keputusan menjual adalah hal lain. Keduanya berbeda, dan saya yakin, setiap investor memiliki peraturannya tersendiri.

Saya pun demikian. Keputusan menjual saham yang saya ambil lebih didasarkan pada fundamental perusahaan. Kalau fundamentalnya masih bagus, dan harganya belum jatuh di bawah 8-10%, saya biasanya akan terus mempertahankan sahamnya.

Sementara, untuk saham yang untung, saya juga enggan menjualnya cepat-cepat. Dari pengalaman saya belajar bahwa saham yang sudah untung bisa mengurus dirinya sendiri.

Jadi, saya memilih mendiamkan saham yang sudah untung selama mungkin, karena saya tahu, pada masa depan, harganya mungkin akan naik lebih tinggi, dan saya bisa memperoleh keuntungan yang jauh lebih besar.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun