Regulasi yang ditetapkan pemerintah ternyata sangatlah ketat sehingga tidak semua dompet elektronik tadi lolos "sensor". Beberapa ada yang gagal memenuhi regulasi, di antaranya ialah TokoCash dan Grabpay.
Tentu saja hal itu menjadi persoalan serius bagi manajemen Tokopedia dan Grab. Kalau dompet elektronik mereka tidak diizinkan beroperasi, lantas, bagaimana proses transaksi di aplikasi bisa dilakukan?
Di tengah kebingungan itu, OVO muncul memberi solusi. Tokopedia dan Grab kemudian menjalin kerja sama dengan OVO untuk mempermudah proses transaksi yang dilakukan konsumen.Â
Jadilah, semua konsumen Tokopedia beralih memakai OVO. Hal yang sama juga terjadi pada Grab.
Jumlah pengguna OVO pun naik secara signifikan. Hal itu bisa dipandang sebagai "hadiah" atau malah "masalah". Disebut "hadiah" karena dalam waktu singkat, OVO bisa merajai pasar dompet elektronik di masyarakat. Sungguh jarang ada perusahaan baru yang langsung melesat kinerjanya dalam waktu singkat.
Disebut "masalah" karena manajemen OVO mesti menyiapkan anggaran ekstra seiring dengan membludaknya jumlah pengguna.Â
Manajemen mesti mencari investor lain atau menerbitkan saham baru agar memperoleh dana segar untuk membiayai program yang dijalankan.
Dengan keunggulan tadi, boleh jadi, orang-orang akan berkata, "OVO is too big to fail." Kalau bisa terus melebarkan sayap, sepertinya OVO akan jauh dari kebangkrutan.
Alih-alih layu, boleh jadi, OVO malah akan berkembang merajai pasar dompet elektronik pada masa depan. Jika hal itu terjadi, sepertinya kekhawatiran Mochtar Riady atas keberlangsungan nasib OVO bisa dinetralisirkan.
Meski begitu, di dalam dunia bisnis, semua hal serba tidak pasti. Tidak ada satu pun yang bisa memberi jaminan atas kelanggengan suatu perusahaan. Sudah ada beberapa contoh perusahaan yang dulunya disebut "too big to fail", kini malah terseok-seok untuk terus bertahan hidup.