September sepertinya bukan bulan yang penuh "hoki" untuk Indonesia. Sebab, pada bulan ini, Indonesia terpaksa menelan "2 kali" kekalahan dari Malaysia.
Kekalahan yang pertama terjadi ketika tim nasional (timnas) Indonesia menjamu timnas Malaysia di Stadion Utama Gelora Bung Karno pada hari kamis kemarin.
Dalam laga itu, Skuad Garuda sebetulnya bermain cukup solid dan agresif. Buktinya, pada babak pertama, Indonesia unggul 2-1 berkat gol yang dicetak Alberto Goncalves.
Para suporter tentu berharap keunggulan tadi dapat terus dipertahankan pada babak kedua. Sayangnya, harapan itu sempat redup setelah timnas Malaysia berhasil menyamakan skor 2-2 di pertengahan laga.
Jelang menit ke-90, kedudukan masih sama kuat, dan sepertinya kedua tim pun siap berbagi angka.
Namun, justru pada detik-detik terakhir itulah terjadi sebuah "drama". Sebab, sebelum peluit panjang dibunyikan, timnas Malaysia sanggup mencuri gol!
Kedudukan berbalik: Malaysia 3, Indonesia 2, dan kedudukan tersebut bertahan sampai akhir laga. Dengan hasil tersebut, timnas Malaysia sukses membawa pulang 3 poin dari kandang Indonesia!
Kekalahan itu seakan melengkapi "kekalahan lain" yang dialami Indonesia dari Malaysia. Beberapa waktu lalu, Indonesia juga gagal menarik minat para investor yang ingin memindahkan pabriknya ke luar Tiongkok. Â
Semua itu bermula ketika beberapa bulan lalu, sejumlah perusahaan di Tiongkok memutuskan merelokasi pabriknya ke negara lain. Pemindahan itu dilakukan bukan tanpa alasan.
Perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang berlarut-larut menjadi pemicunya. Sepertinya efek negatif yang ditimbulkan oleh perang dagang telah menjadi momok yang sangat mengerikan bagi para investor sampai-sampai mereka mesti "angkat kaki" dari negeri tirai bambu tersebut.
Investor kemudian membidik kawasan Asia Tenggara untuk merelokasi semua asetnya. Relokasi itu jelas membawa "berkah" untuk beberapa negara yang berada di wilayah asean.Â
Sebab, dengan adanya relokasi tersebut, dana investasi akan mengucur deras, banyak lapangan kerja akan tersedia, dan perekonomian negara yang bersangkutan akan lebih kuat.
Sayangnya Indonesia malah gagal mengambil "kesempatan emas" tersebut. Sampai tulisan ini dibuat, belum ada satu pun dari perusahaan tadi yang berniat membuka bisnis baru di tanah air.
Perusahaan tadi lebih tertarik berinvestasi di negara tetangga, seperti Vietnam, Thailand, Singapura, dan Malaysia. Lagi-lagi Indonesia mesti menerima "kenyataan pahit" karena kalah bersaing dengan negara lain, terutama Malaysia.
Kabar itu sontak membikin Presiden Jokowi kecewa. Kekecewaan tadi tentu beralasan sebab kalau dibandingkan dari luas teritori dan jumlah penduduk, Indonesia jelas lebih unggul.
Ekonomi? Indonesia adalah sebuah negara dengan pertumbuhan ekonomi yang baik. Hal itu tercermin dari pertumbuhan bursa saham yang luar biasa dalam 20 tahun terakhir hingga keberadaan empat startup yang menyandang status "unicorn" dan "decacorn".
Meskipun memiliki keunggulan demikian, anehnya, belum ada satu pun investor tersebut yang melirik Indonesia sebagai lahan yang subuh untuk berinvestasi. Mereka lebih berminat "mengguyur" negara tetangga dengan dana investasi yang berlimpah.
Setelah ditelusuri sebabnya, barulah diketahui bahwa persoalan perizinanlah yang kerap menghambat niat investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Birokrasi yang berbelit-belit dianggap kurang ramah terhadap investor.
Belum lagi sederet persoalan lain yang turut "menciutkan" minat investor untuk membenamkan modalnya di tanah air, seperti kualitas sumber daya manusia, pembebasan lahan, dan kepastian hukum.
Maka, jangan heran kalau para investor tersebut lebih terpincut membangun bisnis di negara-negara lain, yang dinilai lebih "ramah" dari segi birokrasi dan hukum. Investor sepertinya membutuhkan lebih banyak kepastian di tengah situasi yang  serba tidak pasti, dan hal itulah yang bisa disediakan oleh negara-negara tersebut.
Hal itu tentu menjadi "pekerjaan rumah" yang mesti diselesaikan pemerintah. Kalau ingin menarik minat investor lain, pemerintah seyogyanya mesti memperbaiki sistem dan tata kelola. Dengan demikian, kekalahan yang dialami Indonesia sekarang sifatnya hanyalah sementara, sebelum akhirnya berbalik menuai kemenangan pada kemudian hari.
Salam.
Adica Wirawan
Referensi:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H