Sejak kemarin, layanan Whatsapp, Instagram, dan Facebook kompak "limbung". Ketiga media tadi sulit diakses, dan sampai tulisan ini dibuat pun, semuanya masih belum berfungsi normal.Â
Penyebab peristiwa tersebut ternyata bukan karena server-nya down, melainkan karena layanan ketiganya sengaja dinonaktifkan untuk mencegah penyebaran "kabar angin" yang bisa menyulut emosi masyarakat.
Hal itu tentu bisa dimaklumi. Sebab, sudah beberapa hari belakangan, situasi di Ibu kota sedang "panas" akibat aksi unjuk rasa. Alih-alih berjalan damai, aksi unjuk rasa itu justru berujung keributan.Â
Pasalnya, jelang berakhirnya unjuk rasa, sejumlah oknum yang tidak dikenal menyerang petugas dengan lemparan batu dan tembakan kembang api. Kerusuhan pun sulit dihindari dan hal itu jelas menciptakan kekacauan, kekhawatiran, dan ketakutan.
Agar kemarahan tadi tidak menyebar luas, pemerintah kemudian mengambil langkah pencegahan dengan "memadamkan" layanan media sosial tadi untuk sementara waktu. Kebijakan itu diharapkan dapat meredam peredaran berita-berita hoax yang bisa memancing emosi.
Bagi para warganet, hal itu tentu menimbulkan "kekisruhan" tersendiri. Kalau sebelumnya mereka dapat berbagi foto di instastory atau berkomunikasi dengan mudah, akibat kebijakan tadi, kegiatan mereka jadi tergannggu. Di mata mereka, tanpa terhubung dengan media sosial, dunia bisa terasa "hampa", seperti lagunya Ari Lasso.
Meski begitu, bukan berarti tidak ada jalan lain yang bisa diambil untuk terus bermedsos. Kini tersedia layanan Virtual Private Network (VPN), memungkinkan warganet mengakses media sosial yang sedang diblokir. Di internet ada beberapa aplikasi yang menyediakan layanan VPN secara gratis atau berbayar.
Hal itu sontak meningkatkan permintaan atas layanan VPN di sejumlah aplikasi. Para pengelola aplikasi pun "kebanjiran" pengunjung dan itu tentu mendatangkan "pundi-pundi rezeki" bagi mereka.
Dengan begitu banyaknya permintaan tadi, boleh jadi, layanan PVN yang ditawarkan bisa dibanderol dengan harga tinggi. Pasalnya, orang-orang bersedia bayar mahal asalkan bisa mendapat layanan akses yang prima untuk bermedsos ria! "Musibah" yang melanda satu pihak ternyata bisa mendatangkan "berkah" bagi pihak lain!
Faktor yang Melambungkan Kenaikan Harga Saham
Kenaikan harga yang terjadi secara tiba-tiba seperti itu tak hanya berlaku untuk layanan VPN. Produk lain, seperti saham, juga mengalaminya dalam situasi tertentu.
Sebagaimana diketahui, harga saham memang dipengaruhi oleh besaran permintaan dan penawaran. Jika permintaan lebih banyak daripada penawaran, harganya bisa naik. Sebaliknya, kalau lebih sedikit, harganya akan turun.
Meski demikian, terkadang jumlah permintaan yang besar tidak serta-merta "melambungkan" harga saham. Ada saham tertentu yang "malas" beranjak dari posisinya biarpun telah didukung oleh permintaan yang berlimpah. Saham jenis ini umumnya lambat bergerak dan butuh waktu yang relatif lama untuk menghasilkan keuntungan yang besar.
Semua itu bisa jadi disebab oleh jumlah saham yang beredar. Semakin sedikit jumlah saham yang beredar, umumnya semakin cepat pula fluktuasi harganya. Sebaliknya, semakin berlimpah lembar suatu saham, semakin lamban pergerakannya.
Saham BBCA (PT Bank Central Asia Tbk) dan BBRI (PT Bank Rakyat Indonesia Tbk) bisa menjadi contoh untuk menjelaskan hal tersebut. Di bursa saham, BBCA dan BBRI adalah "primadona". Keduanya tergolong sebagai saham unggulan.Â
Selain menguasai pangsa pasar yang luas, keduanya juga memiliki kapitaliasi pasar yang besar. Makanya, jangan heran, keduanya kerap jadi "langganan" investor untuk menanam modal.
Meskipun termasuk saham yang hebat, mengapa harga kedua saham tadi bisa berbeda jauh? Apa yang menyebabkan saham BBCA bisa dihargai Rp 28.000-an/ lembar, sementara BBRI "hanya" 3.800-an/ lembar?
Jawaban atas pertanyaan tadi bisa dilihat dari jumlah saham yang beredar. BBCA punya saham beredar sekitar 24 miliyar lembar, lebih sedikit daripada BBRI yang berjumlah sekitar 123 miliyar. Dengan jumlah saham yang sedikit, dan dibarengi permintaan yang banyak, jangan heran, harga saham BBCA bisa lebih cepat naik daripada BBRI.
Hal itu tentu bisa jadi pertimbangan investor dalam memilih saham. Kalau ingin memperoleh untung besar, investor dapat membeli saham-saham yang jumlah lembar saham beredarnya sedikit. Saham-saham ini umumnya punya kapitalisasi pasar yang sedang dan kecil (di bawah 15 triliyun rupiah).
Meskipun bisa memberi imbal hasil yang relatif lebih besar, bukan berarti saham-saham tadi bebas dari risiko. Sebab, tingkat naik-turunnya harga saham bisa berlangsung sangat cepat.
Kalau telat jual saham sedikit saja, potensi keuntungan yang sudah diperoleh bisa lenyap dalam waktu singkat. Sebab, harga saham tadi sudah keburu jatuh, dan susah kembali ke posisi awal. Makanya, boleh dibilang, imbal hasilnya sebanding dengan risikonya.
Namun, apakah saham jenis ini mesti dihindari? Tidak juga. Saya justru senang membelinya. Hanya, pada saat saya menyusun portofolio, saya sering mencampurkan saham berkapitalisasi tinggi dan rendah.
Jatah dana investasinya pun berbeda. Untuk saham berkapitalisasi kecil, saya mengalokasikan dana yang kecil. Demikian pula sebaliknya. Untuk emiten yang punya fundamental bagus, saya tanam uang yang lebih besar.
Dengan begitu, biarpun saya rugi lantaran salah beli saham misalnya, kerugian yang saya tanggung tidak terlalu besar, dan saya punya kesempatan untuk membeli saham lain yang lebih prospektif.
Salam.
Adica Wirawan, Founder of Gerairasa
Referensi: WhatsApp-Instagram Down Bisa Diakali Pakai VPN, Apa itu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H