Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Beda "Swing Voter," Beda "Swing Trader"

10 April 2019   10:09 Diperbarui: 11 April 2019   01:34 667
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
tidak ada "kesetiaan" untuk swing voter dan swing trader (sumber: media3.s-nbcnews.com 

Kesetiaan barangkali adalah sesuatu yang "langka" dalam dunia partai politik di tanah air. Maklum, di Indonesia, "ikatan emosional" terhadap partai terbilang rendah. 

Seperti dikutip dari laman BBC, kedekatan psikologis dengan suatu partai hanya berkisar 11%, kalah jauh dibandingkan dengan negara-negara lain. Jadi, jangan heran, selera masyarakat terhadap sebuah partai seperti "cuaca", yang bisa berubah sewaktu-waktu.

Hal itulah yang kemudian melahirkan istilah swing voter. Swing voter adalah kelompok pemilih yang pada pemilu sebelumnya mendukung partai A, tetapi pada pemilu berikutnya dapat berubah mendukung partai B.

Ada sejumlah alasan yang menyebabkan swing voter. Di antaranya, pemilih yang bersangkutan mungkin memandang bahwa partai yang dulu dipilihnya tidak lagi satu visi dengannya.

Kalau dulu partai tersebut mengusung pemerintahan yang bersih, jujur, dan amanah, tetapi karena belakangan beberapa "oknum" dari partai tadi "terciduk" melakukan korupsi, boleh jadi, pemilih tersebut akhirnya hijrah ke partai lain. Si pemilih menilai bahwa partai yang dulu dibelanya sudah "ingkar janji" atau berubah haluan, sehingga tidak ada alasan lagi baginya untuk terus bertahan.

Alasan lain, keputusan pemilih bisa saja dipengaruhi oleh calon presiden yang akan bertarung di pemilihan umum. Oleh karena partai yang dulu dipilihnya enggan mendukung calon presiden favoritnya, boleh jadi, si pemilih memutuskan "bercerai" dengan partai yang bersangkutan. 

Kharisma calon presiden yang diidolakannya tampaknya jauh lebih kuat, sehingga ia bersedia "membelokkan" dukungannya dari partai yang dulu pernah disukainya.

Dari situ terlihat bahwa swing voter cukup berpengaruh terhadap perolehan suara yang akan didapat suatu partai. Dalam pemilu sebelumnya, sebuah partai mungkin memperoleh suara paling banyak dari masyarakat, mendapat jatah kursi mayoritas di parlemen, dan memiliki kekuasaan yang besar.

Namun, akibat fenomena swing voter, kejayaan tadi belum tentu akan terulang. Hal itu jelas menjadi "pekerjaan rumah" bagi petinggi partai. 

Untuk memenangkan pemilu, mereka mesti berpikir dan bekerja keras merebut simpati pemilih karena pemilih terdahulu belum tentu menyumbangkan suaranya untuk partai itu lagi.

tidak ada
tidak ada "kesetiaan" untuk swing voter dan swing trader (sumber: media3.s-nbcnews.com 

Persoalan loyalitas tadi tidak hanya terjadi di dunia politik, tetapi di dunia saham. Sudah bukan rahasia, saat ini, investor mudah "berpindah hati". Berbeda dengan investor zaman old, yang sanggup memegang sebuah saham dalam jangka waktu bertahun-tahun, investor zaman now cenderung tidak "kuat iman".

Sebab, kalau melihat saham yang berpotensi akan naik harganya dalam waktu dekat, bisa jadi, investor tersebut bakal buru-buru menjual saham yang dimilikinya, dan langsung membeli saham yang harganya diprediksi akan "terbang" tadi.

Hal itulah yang kemudian memunculkan istilah swing trader. Swing trader adalah sejumlah investor yang berburu saham berdasarkan momentum. Mereka umumnya akan mencari saham-saham yang akan "melejit" harganya dalam waktu singkat. Tujuannya jelas. Mereka ingin meraup keuntungan besar secepat mungkin.

Swing trader gemar mengawasi pergerakan volume suatu saham. Mereka umumnya mencermati faktor supply (penawaran) dan demand (permintaan). 

Bagi mereka, hal itulah yang akan menentukan pergerakan suatu saham. Sesuai dengan Hukum Ekonomi, jika permintaan atas suatu saham cenderung lebih besar daripada penawaran, harga saham tadi akan naik. Pun sebaliknya.

Dalam "membaca" arah pasar, swing trader sering memperhatikan kesesuaian antara volume dan harga. Ada empat kriteria yang umumnya diperhatikan. Satu, volume besar, harga naik. Hal itu menjadi sebuah tanda bahwa ada begitu banyak investor yang ingin memiliki suatu saham. Jumlahnya bisa ratusan atau bahkan ribuan. Akibatnya, volumenya pun jadi besar dan secara otomatis, harganya pun akan ikut-ikutan naik.

Dua, volume besar, harga turun. Situasi ini adalah kebalikan dari sebelumnya. Biasanya kondisi ini terjadi dalam kondisi down trend. Saya pernah mencermati transaksi saham LPPF (PT Matahari Departement Store Tbk) yang memperlihatkan "kejatuhan" harga besar-besaran pada bulan Maret lalu.

Setelah perusahaan merilis laporan keuangan yang memperlihatkan kerugian yang cukup dalam, ada banyak pemegang saham LPPF yang melakukan aksi jual. Mereka mengobral saham LPPF, sampai-sampai harganya anjlok 22%!

Bahkan, perdagangan saham LPPF sudah berakhir pada sesi 1 karena tidak ada lagi investor yang mau beli sahamnya. Jadi, pada sesi 2, saat saham-saham lain masih aktif diperdagangkan, saham LPPF sepi peminat. Saat "keruntuhan" itu terjadi, volume perdagangannya besar, tetapi harganya turun drastis.

swing trader (sumber: bbva.com)
swing trader (sumber: bbva.com)
Tiga, volume kecil, harga naik. Situasi ini menunjukkan bahwa harga suatu saham sedang "digoreng". Ada sejumlah investor yang me-mark up harga sebuah saham. 

Biarpun terkesan meningkat harganya, biasanya ini "jebakan". Investor yang belum berpengalaman bisa terpancing membelinya, dan kalau itu sampai terjadi, saham yang diboyongnya dapat nyangkut. Kondisi volume kecil, tetapi harga terus naik umumnya terjadi pada "saham receh" alias small cap.

Empat, volume kecil, harga turun. Hal ini biasanya dijumpai pada situasi down trend. Setelah naik besar-besar dalam dua-tiga hari, pada hari berikutnya, harga saham biasanya akan turun. Penurunannya tidak dalam. Sebab, itu tidak dibarengi oleh volume yang besar. Dalam situasi ini, pasar sedang melakukan "koreksi" harga.

Oleh karena hanya berfokus pada volume dan harga, swing trader jarang memerhatikan aspek fundamental suatu saham. Mereka enggan menyelidiki Return on Equity (ROE), Earning Per Share (EPS), Price Earning Ratio (PER), dan rasio lain sebelum membeli saham.

Makanya, boleh dibilang, kesetiaan swing trader hanya diukur dari besaran volume dan kenaikan harga. Kalau sebuah saham memenuhi syarat volumenya besar dan harganya naik, mereka akan beli. Sebaliknya, kalau kriteria tadi belum lengkap, mereka akan cari saham lain. Seperti swing voter dalam pemilu, swing trader dalam dunia saham ternyata memang senang "berpindah hati".

Salam.
Adica Wirawan, founder of Gerairasa
Referensi: 1, 2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun