Usai memenangi Piala Oscar 2019, Alfonso Cuaron sempat memberi pernyataan unik. Sutradara asal Meksiko tersebut mengaku tidak pernah menonton film yang dibesutnya. Setelah filmnya selesai diproduksi, ia berkata lebih senang menyaksikan film orang lain alih-alih filmnya sendiri.
Cuaron agaknya tipikal sutradara yang enggan memikirkan hasil akhir dari karyanya. Ia hanya fokus menggarap suatu proyek film, dan menyerahkan seluruh penilaian karyanya kepada masyarakat. Ia tidak mau ambil pusing atas komentar-komentar yang muncul dari karyanya. Makanya, begitu salah satu filmnya, yaitu Roma, ramai diperbincangkan, ia memilih "tidur", malas berkomentar terlalu banyak.
Sekilas, gaya kerja Cuaron dalam menangani suatu film mengingatkan saya pada salah satu gaya investasi dalam dunia saham, yaitu investasi nilai. Keduanya ternyata memiliki kemiripan.Â
Keduanya lebih berfokus pada proses tanpa terlalu merisaukan hasil. Keduanya percaya bahwa kalau semua proses dijalani dengan benar, hasil terbaik bisa didapat. Sederhananya, proses tidak akan pernah "mengkhianati" hasil.
Makanya, dalam menyeleksi saham, investor yang memegang gaya investasi ini senang mencari saham-saham berkualitas bagus, yang dijual dengan harga murah. Seleksi saham yang dilakukan pun sangat ketat. Ada begitu banyak aspek yang menjadi bahan pertimbangan sebelum investor yang bersangkutan memboyong sebuah saham.
Mengapa? Karena investor tersebut tidak berencana memperjual-belikan saham dalam waktu singkat. Setelah menemukan saham demikian, mereka biasanya akan menyimpannya selama beberapa tahun atau beberapa dekade. Jadi, mindset mereka bersifat jangka panjang.
Satu saham yang dikoleksinya ialah Coca-Cola. Saham tersebut dibelinya pada tahun 1988, saat harganya jatuh menyentuh 2 dollar per lembar saham, dan ia masih menahannya sampai sekarang. Jadi, secara keseluruhan, ia telah memiliki saham tadi selama 30 tahun, dan terus meraih keuntungan berlipat ganda sejak ia membelinya karena saham tersebut kini dihargai 44 dollar alias naik 22 kali lipat!
Sampai sekarang tak ada tanda-tanda dari Buffett bahwa ia akan menjual saham tersebut. Jadi, tak ada yang tahu sampai kapan ia akan terus mengoleksinya. Makanya, saat ditanya sampai kapan ia akan terus menyimpannya, dengan spontan, ia berkata, "Selamanya!"
Dalam memilih saham, Buffett cenderung menomorsatukan proses. Ia jarang sekali memedulikan kondisi makro ekonomi di Amerika Serikat. Ia seolah menutup telinga saat banyak tersebar kabar buruk yang sanggup "menggetarkan" pasar modal. Ia hanya percaya pada kualitas perusahaan yang dimilikinya.
Jadi, saat semua orang gaduh terhadap sebuah isu besar, seperti perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok, Buffett cenderung mengawasi kinerja bisnis perusahaan yang dibelinya alih-alih ikut meributkan kabar tersebut. Ia akan terus memastikan perusahaan melewati semua proses, dan kalau semua proses dijalani dengan baik, hasilnya tentu akan bagus.