Rubrik Sosok yang ditampilkan Harian Kompas tanggal 19 Januari lalu segera mengalihkan perhatian saya. Pasalnya, rubrik itu memuat kisah Sayudi, seorang pengusaha warteg yang inspiratif.Â
Saya sebut "inspiratif" karena Sayudi merintis usahanya benar-benar dari bawah. Betapa tidak, dengan bekerja keras, ayah tiga orang anak itu berhasil menumbuhkan sebuah usaha warteg, hingga kemudian "beranak" menjadi 210 cabang!
Sebelum memulai usaha warteg, Sayudi telah membuka warung kelontong di kawasan Terminal Pulogadung. Bisnis itu sudah dikelolanya sejak tahun 1990-an. Selama menjalankan usaha tersebut, pemasukannya sering "kembang-kempis".Â
Maklum, modal yang dimilikinya memang terbilang kecil, sehingga bisnisnya sulit berkembang dengan cepat. Biarpun demikian kondisinya, ia terus mempertahankan usaha tersebut lantaran itulah sumber utama pendapatannya.
Ibarat sebuah benih yang menemukan lahan yang subur, warteg tersebut kemudian mengalami perkembangan. Oleh karena lokasinya yang strategis, warteg itu selalu ramai dikunjungi pembeli. Seiring dengan berjalannya waktu, Sayudi pun membuka 10 cabang.
Untuk lebih menumbuhkan bisnisnya, pada tahun 2014, Sayudi menerapkan skema waralaba, sehingga orang lain pun bisa ikut membuka usaha warteg di bawah "bendera" Warteg Kharisma Bahari. Setelah lima tahun berjalan, jumlah waralabanya mencapai 210 warteg yang tersebar di wilayah Jabodetabek.
Kesulitan Modal
Sebagai pengusaha UMKM, Sayudi mengakui bahwa modal adalah persoalan yang sering "menghantui" bisnisnya. Untuk mengatasi persoalan itu, ia pun mencoba meminjam uang ke bank. Upaya itu pun bukannya tanpa halangan. Kadang keinginannya itu "terbentur" oleh kebijakan bank, lantaran usahanya dinilai tidak layak mendapat fasilitas pinjaman.
Sekalipun memperoleh pinjaman, Sayudi juga kerap merasa waswas membayar angsurannya. Wajar, dalam menjalankan bisnis di bidang kuliner, pendapatan bisa naik-turun sewaktu-waktu, bergantung pada lokasi dan situasi. Belum lagi, ada begitu banyak "pemain" di bidang tersebut, sehingga tingkat persaingannya pun lumayan ketat. Kalau sampai kalah berkompetisi, bisa-bisa usaha yang dijalankan malah "meredup", dan itu tentu berdampak pada kredit macet.
Namun, sistem ini bukannya tanpa kendala. Sebab, Sayudi harus jeli memilih mitra usaha. Jangan sampai nama baik usaha tercoreng akibat "kesalahan" yang dilakukan mitra tersebut. Ibarat nila setitik, rusak susu sebelangga. Demikianlah pepatah yang bisa menggambarkan risiko sistem waralaba.
Upaya IPO di Pasar Modal
Kalau mencermati perekonomian tanah air, selain meminjam uang di bank atau mewaralabakan usahanya, Sayudi sebetulnya bisa mencoba alternatif tertentu untuk mendapat suntikan modal. Caranya ialah meng-go public-kan perusahaan wartegnya di pasar modal. Mungkin jalan itu terdengar "nyeleh". Bagaimana mungkin sebuah perusahaan warteg bisa melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI)?
Hal itu bisa saja terjadi. Sebab, kini manajemen BEI sedang menggodok regulasi yang memungkinkan UMKM, seperti usaha yang dimiliki Sayudi, agar bisa melakukan Initial Public Offering alias IPO. Nantinya, kalau peraturan tersebut sudah disahkan, perusahaan UMKM akan tercatat di "papan akselerasi".
Kabar tersebut tentu manjadi "angin segar" bagi pengusaha UMKM. Pasalnya, selama ini, pengusaha merasa hampir mustahil bisnis yang mereka kelola bisa mencatatkan namanya di bursa saham. Maklum, perusahaan-perusahaan yang terdaftar di bursa saham umumnya tergolong mapan.Â
Mereka telah menjalankan bisnis selama puluhan tahun, memiliki aset yang terbilang besar, dan memenuhi semua syarat yang diterapkan oleh Bursa Efek Indonesia yang sedemikian ketat.
Makanya, para pengusaha UMKM sering berkecil hati kalau ditanya soal kemungkinan perusahaan bisa melepas sahamnya kepada masyarakat. Namun, dengan adanya regulasi tersebut, setidaknya ada harapan bagi pelaku UMKM.Â
Ibarat pintu yang terbuka, regulasi itu memberikan kesempatan kepada pebisnis dengan modal kecil dan kemampuan terbatas untuk bisa mengembangkan usahanya lebih baik lagi.
Regulasi IPO untuk UMKM yang sedang disusun oleh manajemen BEI sebetulnya terbilang agak telat. Jika kita membandingkan dengan negara lain, manajemen bursa efek di sejumlah negara sudah melakukannya puluhan tahun silam.Â
Mereka telah memberi kesempatan bagi UMKM lokal, yang masih tergolong kecil, agar bisa menawarkan sahamnya di bursa. Makanya, jangan heran, perusahaan UMKM, seperti Apple, dulunya bisa menawarkan sahamnya di bursa efek Amerika pada tahun 1980, biarpun usia perusahaan tersebut baru empat tahun (Apple didirikan pada tahun 1976).
Namun, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Kalau suatu saat rampung, regulasi tersebut tentu tak hanya berdampak positif terhadap kinerja perusahaan, tetapi juga penyerapan tenaga kerja.
Semakin banyak perusahaan yang bertumbuh berkat suntikan modal dari bursa, semakin banyak pula tenaga kerja yang diperlukan. Selain itu, status sebagai emiten juga akan meningkatkan citra perusahaan. Dengan begitu, UMKM, seperti bisnis warteg milik Sayudi, bisa mendapat lebih banyak tempat di hati masyarakat.
Salam.
Adica Wirawan, founder of Gerairasa
Referensi:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H