Kalau mencermati perekonomian tanah air, selain meminjam uang di bank atau mewaralabakan usahanya, Sayudi sebetulnya bisa mencoba alternatif tertentu untuk mendapat suntikan modal. Caranya ialah meng-go public-kan perusahaan wartegnya di pasar modal. Mungkin jalan itu terdengar "nyeleh". Bagaimana mungkin sebuah perusahaan warteg bisa melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI)?
Hal itu bisa saja terjadi. Sebab, kini manajemen BEI sedang menggodok regulasi yang memungkinkan UMKM, seperti usaha yang dimiliki Sayudi, agar bisa melakukan Initial Public Offering alias IPO. Nantinya, kalau peraturan tersebut sudah disahkan, perusahaan UMKM akan tercatat di "papan akselerasi".
Kabar tersebut tentu manjadi "angin segar" bagi pengusaha UMKM. Pasalnya, selama ini, pengusaha merasa hampir mustahil bisnis yang mereka kelola bisa mencatatkan namanya di bursa saham. Maklum, perusahaan-perusahaan yang terdaftar di bursa saham umumnya tergolong mapan.Â
Mereka telah menjalankan bisnis selama puluhan tahun, memiliki aset yang terbilang besar, dan memenuhi semua syarat yang diterapkan oleh Bursa Efek Indonesia yang sedemikian ketat.
Makanya, para pengusaha UMKM sering berkecil hati kalau ditanya soal kemungkinan perusahaan bisa melepas sahamnya kepada masyarakat. Namun, dengan adanya regulasi tersebut, setidaknya ada harapan bagi pelaku UMKM.Â
Ibarat pintu yang terbuka, regulasi itu memberikan kesempatan kepada pebisnis dengan modal kecil dan kemampuan terbatas untuk bisa mengembangkan usahanya lebih baik lagi.
Regulasi IPO untuk UMKM yang sedang disusun oleh manajemen BEI sebetulnya terbilang agak telat. Jika kita membandingkan dengan negara lain, manajemen bursa efek di sejumlah negara sudah melakukannya puluhan tahun silam.Â
Mereka telah memberi kesempatan bagi UMKM lokal, yang masih tergolong kecil, agar bisa menawarkan sahamnya di bursa. Makanya, jangan heran, perusahaan UMKM, seperti Apple, dulunya bisa menawarkan sahamnya di bursa efek Amerika pada tahun 1980, biarpun usia perusahaan tersebut baru empat tahun (Apple didirikan pada tahun 1976).
Namun, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Kalau suatu saat rampung, regulasi tersebut tentu tak hanya berdampak positif terhadap kinerja perusahaan, tetapi juga penyerapan tenaga kerja.
Semakin banyak perusahaan yang bertumbuh berkat suntikan modal dari bursa, semakin banyak pula tenaga kerja yang diperlukan. Selain itu, status sebagai emiten juga akan meningkatkan citra perusahaan. Dengan begitu, UMKM, seperti bisnis warteg milik Sayudi, bisa mendapat lebih banyak tempat di hati masyarakat.
Salam.
Adica Wirawan, founder of Gerairasa