Perasaan itu kemudian "melumpuhkan" nalar saya, sehingga tanpa berpikir panjang, saya langsung membeli 15 lot saham tersebut. Hasilnya? Dua hari setelah saya beli hargannya masih "terbang". Namun, pada hari berikutnya, harganya malah anjlok 4%!
Saya masih pegang saham itu karena berpikir esok harganya barangkali akan naik lagi. Namun, harapan saya ternyata "berseberangan" dengan kenyataan.Â
Sebab, hari berikutnya, harganya justru anjlok lebih dalam: 8%. Saya mulai gelisah. Zona merah di aplikasi saham saya terus "menghantui" pikiran.
Namun, masih saya pertahankan saham itu, kali ini dengan sedikit berkata kecil di dalam hati: "Mungkin besok harganya akan kembali." Akan tetapi, lagi-lagi kenyataan terus "mempermainkan" hati saya.Â
Harga saham saya terus turun menyentuh 11% dari harga beli, dan saya terancam kehilangan beberapa ratus ribu, hanya dalam tiga hari!
Oleh karena saya mempunyai batas tolerasi kerugian 10%, saya langsung cut loss. Dalam keadaan rugi, saya lepas saham tersebut, dan saya beli saham baru, yang nilainya jauh lebih baik dari saham tadi.Â
Biarlah, kata saya, daripada uang saya terus tergerus. Saya ikhlaskan saham tersebut walaupun beberapa waktu kemudian harga saham tadi kembali "terbang" seperti sebelumnya.
Dari situ saya sadar bahwa sejak awal, saya telah bersikap gegabah. Semestinya saya memilih saham dalam kondisi batin yang tenang, bukannya dalam keadaan yang diliputi ketamakan begitu.Â
Dalam kondisi pikiran yang sejuk, saya bisa mengambil sebuah keputusan investasi secara cermat dan bijak, yang akan menjauhkan saya dari kerugian.
Selain itu, saya juga jadi mengenali diri bahwa saya belum memiliki staying power yang kuat. Saya belum selevel dengan David de Gea, yang sanggup bertindak cermat, penuh dengan pertimbangan, dan tenang mengawal gawang dalam menghadapi serangan lawan.Â
Untuk yang satu ini, saya memang mesti lebih banyak belajar dan berlatih agar dalam situasi terburuk sekalipun, saya dapat terus menggenggam saham-saham saya tanpa rasa gentar.