Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Mencari Manajer "Setangguh" Juergen Klopp di Bursa Saham

18 Desember 2018   10:09 Diperbarui: 18 Desember 2018   21:54 1812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak ditangani oleh Jurgen Klopp beberapa tahun silam, penampilan Liverpool jauh lebih "menggigit". Betapa tidak, berkat sentuhan Klopp, klub yang berjuluk The Reds itu berhasil menembus babak final Piala UEFA (2015/2016) dan Piala Champions (2017/2018).

Tak hanya sampai di situ, posisi Liverpool pun terus membaik di Liga Inggris. Sempat finis di posisi 8 (2015/2016), lalu naik di posisi 4 (2016/2017, 2017/2018), hingga akhirnya kini Liverpool duduk nyaman di posisi 1 pada paruh musim 2018/2019.

Dalam mengelola skuat Liverpool, Klopp tak hanya piawai meracik strategi, tetapi juga terampil memotivasi "anak asuh"-nya. Makanya, para pemain, seperti Mohamed Salah, Roberto Firmino, dan Sadio Mane, mampu tampil all out dalam setiap laga yang dijalankan Liverpool. Semua pemain dari setiap lini pun tampak kompak, tangguh dalam menyerang atau menahan serangan.

Dari situ kita bisa menyimpulkan bahwa gaya kepemimpinan seorang manajer ternyata berpengaruh besar pada penampilan para pemain di lapangan hijau. 

Manajer yang punya kapasitas dalam menyusun komposisi pemain, mengatur strategi, dan membangun kepercayaan bisa membangkitkan "raksasa yang tertidur" di dalam sebuah tim, sehingga tim itu bisa tampil "trengginas" dalam setiap laga yang dilakoninya.

sumber foto: http://a1.espncdn.com
sumber foto: http://a1.espncdn.com
Hal tersebut sebetulnya tak hanya berlaku di sebuah klub sepak bola, macam Liverpool, tetapi juga di level perusahaan. Seperti di klub sepak bola, jajaran manajer yang punya kapasitas dan integritas mampu "melejitkan" suatu bisnis.

Kehadiran manajemen seperti itu merupakan wujud dari Tata Kelola Perusahaan yang Baik alias Good Corporate Governance (GCG). Dalam menjalankan "roda usaha", peran GCG sangatlah penting. Tanpa tata kelola yang bagus, jangan harap perusahaan bisa berjalan mulus.

Ada banyak contoh yang menunjukkan bahwa sebuah perusahaan bisa terjerat masalah atau bahkan "bubar" kalau ia dikelola oleh "tangan-tangan yang kurang terampil" alias non-GCG. 

Sebut saja kasus PT Tiga Pilar Sejahtera Food (kode emiten AISA) yang sempat heboh beberapa bulan belakangan. Kasus itu bergulir setelah terjadi "perang" antara para direktur dan dewan komisaris.

Perselisihan yang penuh "drama" itu akhirnya menjadi kontraproduktif bagi perusahaan. Kegiatan operasional perusahaan sempat terganggu dan perdagangan sahamnya pun dihentikan oleh Bursa Efek Indonesia.

Kalau sudah terjadi demikian, investor hanya bisa "gigit jari". Sebab, dana yang sudah ditanamkan di perusahaan itu bisa "menguap" tanpa bekas. Makanya, faktor GCG harus masuk dalam daftar pertimbangan investor dalam memilih saham. Jangan sampai investor rugi akibat mengabaikan tata kelola perusahaan.

Biarpun termasuk krusial, sayangnya, faktor itulah yang justru paling sulit diamati. Kecuali bekerja di dalamnya, kita tentu sulit mengamati bagaimana manajemen "mengomandoi" perusahaan.

Untuk mengatasi persoalan itu, sebetulnya kita bisa berkunjung menemui manajer perusahaan secara langsung. Kunjungan itu ibarat "studi tur", yang bertujuan mengenali perusahaan lebih baik. Dari situ, sedikit-banyak investor bisa menguak "rahasia dapur" perusahaan.

Namun, oleh karena dibatasi waktu dan jarak, tidak semua investor punya kesempatan untuk masuk melihat kegiatan operasional perusahaan. Jadi, tidak adakah indikator yang bisa dijadikan pegangan untuk menilai tata kelola sebuah perusahaan tanpa harus berkunjung secara langsung? Ternyata ada. Biarpun belum pernah bertemu dengan para manajernya, ternyata kita bisa menilai apakah perusahaan tersebut dijalankan dengan baik atau tidak.

Satu pedoman yang biasa dijadikan patokan penilaian ialah kebiasaan berutang suatu perusahaan. Sebagai investor, hal itulah yang biasa saya cermati pada awal menganalisis sebuah saham. Saya cenderung menyukai perusahaan yang rendah tingkat utangnya (rasio debt to equity-nya di bawah 1 kali).

Menurut saya, perusahaan yang tidak doyan berutang banyak bisa "lari" lebih kencang di bursa. Mengapa bisa begitu? Sebab, manajemen akan lebih sibuk memikirkan strategi mengembangkan usaha dan mencetak laba, alih-alih menyiasati utang yang mulai melilit perusahaan.

Kalau boleh kasih contoh, PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk. (kode emiten CPIN) bisa jadi rujukan. Sudah bertahun-tahun, manajemen Charoen Pokphand menjalankan tata kelola perusahaan yang baik. 

Mereka tak hanya mampu "menggenjot" bisnis, tetapi juga mengendalikan utang-utangnya. Buktinya, berdasarkan laporan statistik yang dirilis di situs idx.co.id, selama 4 tahun belakangan, rasio utangnya selalu di bawah 1 kali.

Jumlah utang yang kecil juga memberi perusahaan sebuah keuntungan, terutama saat situasi ekonomi sedang buruk. Sebab, dalam kondisi demikian, perusahaan bisa melunasi utang-utangnya dengan mudah, dan terus melanjutkan usaha tanpa dibebani oleh kewajiban-kewajiban tertentu.

Makanya, sewaktu Charoen Pokphand mengalami krisis ekonomi, yang menyebabkan nilai sahamnya jatuh di kisaran Rp 1.680 per lembar saham (21 Agustus 2015), hanya dalam tiga tahun, harga saham CPIN mampu bangkit kembali seiring membaiknya kinerja perusahaan. 

Buktinya, sewaktu saya menulis artikel ini (18 Desember 2018), harganya sudah menyentuh 6.750 alias naik 301% sejak saat itu!

pergerakan saham CPIN sepanjang 2018 (sumber: dokumentasi adica)
pergerakan saham CPIN sepanjang 2018 (sumber: dokumentasi adica)
Selain rasio utang, hal lain yang bisa dijadikan "barometer" ialah kepemilikan saham oleh jajaran direksi. Jajaran direksi yang percaya kepada kinerja perusahaan yang ditanganinya umumnya akan mengoleksi sahamnya dalam jumlah besar dan tetap menggenggamnya dalam krisis.

Makanya, untuk menilai tata kelola perusahaan yang baik, perhatikanlah daftar pemegang saham dan porsi saham yang dipegangnya. Kalau di situ tercantum nama jajaran direksi sebagai pemegang saham, kita boleh memberi checklist bahwa perusahaan tersebut bisa dipercaya.

Sebaliknya, jika tidak ada, atau malah jajaran manajemen mulai menjual saham-sahamnya tanpa alasan yang jelas, sebaiknya jauhi saham perusahaan tersebut. Kalau manajemennya yang tahu seluk-beluk perusahaan saja tidak ingin mengoleksi sahamnya, mengapa kita tertarik memilikinya?

Hal lain yang juga bisa menjadi bahan pertimbangan adalah konsistensi membagi deviden. Sebetulnya di bursa saham, tidak ada aturan yang mewajibkan emiten untuk menyetorkan deviden kepada pemegang saham. 

Pemberian deviden umumnya dilakukan manakala perusahaan untung besar, sehingga punya cukup dana untuk melanjutkan kegiatan operasional pada periode berikutnya.

Namun, ada sejumlah perusahaan yang memiliki "tradisi" membagikan emiten setiap tahun. Baik kondisi kas perusahaan sedang tokcer maupun lesu, manajemen menyisakan keuntungan untuk dibagikan kepada pemegang saham. Semua itu boleh dipandang sebagai "itikad baik" dari manajemen agar para pemegang saham juga menikmati keuntungan yang diperoleh.

Biarpun porsi pembagian deviden berbeda-beda, upaya itu tentu mencerminkan tata kelola perusahaan yang baik. Sebab, manajemen masih peduli terhadap para pemegang sahamnya. Bukankah lebih baik kalau kita punya saham dari perusahaan yang dikelola oleh manajemen yang menunjukkan kepedulian begitu?

Seperti disinggung di awal, langkah Klopp dalam membesut Liverpool bisa menjadi inspirasi bagi siapapun, termasuk jajaran manajemen perusahaan. Bahwa di tangan manajemen yang punya integritas dan kapasitas seperti itu, pertumbuhan suatu usaha bisa diharapkan terjadi. 

Makanya, tata kelola yang baik alias GCG adalah sebuah kunci bagi kesuksesan usaha, dan hal itu pun seyogyanya menjadi satu pertimbangan utama untuk para investor sebelum menanamkan dananya di perusahaan tertentu.

Salam.

Adica Wirawan, founder of Gerairasa  

Refensi:

 https://www.idx.co.id/media/3903/cpin.pdf

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun