Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Pentingnya "Vitamin EPS" bagi Kenaikan Harga Saham

3 Desember 2018   10:09 Diperbarui: 3 Desember 2018   14:53 1820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Harga saham perusahaan komputer yang saya beli beberapa bulan lalu tiba-tiba melonjak. Alih-alih senang, saya justru merasa heran. Pasalnya, itu adalah saham awal yang saya miliki. Pada saat memilih saham tersebut, tidak terpikir oleh saya bahwa harganya akan naik drastis dalam waktu yang begitu singkat.

Namun demikian, keberuntungan terkadang berpihak pada para "newbie". Saham yang saya boyong beberapa lot itu kemudian melesat selang beberapa hari, dan sampai saya menulis artikel ini, saya "masih" menikmati keuntungan 13%.

Oleh karena merasa penasaran, saya kemudian menyelidiki penyebab naiknya harga saham tersebut. Hal itu saya lakukan karena saya tahu bahwa di dunia saham, tidak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan. 

Semua perubahan di sana selalu didasari oleh prinsip sebab-akibat. Makanya, untuk mengetahui alasan terjadinya perubahan harga suatu saham, sudah seharusnya kita menemukan sebab-sebabnya.

Setelah menelusuri laporan keuangan kuartal ketiga perusahaan tersebut, akhirnya saya menemukan "titik terang". Pasalnya, di situ memang terdapat data adanya peningkatan Laba Per Saham alias Earning Per Share (EPS) antara tahun lalu (2017) dan tahun ini (2018). 

Kenaikannya pun lumayan besar, mencapai 22%. Jadi, jangan heran kalau harga sahamnya juga ikut terkerek naik. Kenaikan EPS biasanya berbanding lurus dengan kenaikan harga saham.

Bagi sejumlah investor, pertumbuhan EPS bisa menjadi "barometer" utama dalam memilih saham. Biarpun harga sahamnya terbilang sudah mahal, asalkan EPS-nya naik dari waktu ke waktu, mereka akan tetap beli.

Sebagai contoh, mari kita cermati saham ACES. Sepanjang tahun 2018, saham ini memang menunjukkan kinerja yang luar biasa. 

Biarpun perekonomian tanah air terus "dirongrong" oleh melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar, perusahaan yang menaunginya, yaitu PT Ace Hardware Indonesia Tbk, mampu membukukan omset yang besar.

Akibatnya, perusahaan itu pun "mendulang" banyak laba. Nilai EPS-nya terus naik sepanjang tiga kuartal, dan harga sahamnya pun ikut-ikutan "terbang", dari Rp 1.170 pada tanggal 2 Januari 2018 hingga Rp 1.615 pada tanggal 30 November 2018. Artinya, kalau ada investor yang menahan saham itu selama periode tersebut, bisa dipastikan ia akan mereguk untung sebesar 38%.

pertumbuhan saham aces (sumber: dokumentasi adica)
pertumbuhan saham aces (sumber: dokumentasi adica)
Oleh karena laris diperdagangkan, harga saham ACES kemudian melambung menjadi jauh lebih mahal dari "harga wajar"-nya. Sampai tulisan ini dibuat, Price Earning Ratio (rasio harga) alias PER-nya menyentuh angka 28 kali. Jelas itu terbilang tinggi, mengingat tingkat PER rata-rata saham di Bursa Efek Indonesia ialah 15 kali.

Biarpun begitu, bagi investor yang "mengagungkan" pertumbuhan EPS, harga yang mahal bukanlah masalah. Selama EPS-nya menunjukkan peningkatan baik secara kuartalan maupun tahunan, tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak membelinya. 

Menurut mereka, membeli saham yang EPS-nya terus bertumbuh itu ibarat membeli "mesin pencetak uang"; semakin lama disimpan, semakin besar keuntungan yang bisa dipetik pemilik sahamnya.

Namun demikian, tidak semua saham bisa mencetak pertumbuhan EPS secara konsisten. Ada kalanya tingkat EPS suatu saham turun dari periode sebelumnya, dan kalau itu sampai terjadi, harga sahamnya juga bisa "melorot". Lantas, adakah kriteria khusus untuk menemukan saham yang EPS-nya berkembang secara stabil? Ternyata ada.

Dalam buku Sukses Berinvestasi Ala Buffett, James Pardoe menyarankan investor untuk mencari saham dari perusahaan berteknologi rendah. Alasannya? Karena perusahaan itu hanya membutuhkan sedikit belanja modal.

Coba perhatikan perusahaan berteknologi rendah, macam PT Unilever Indonesia Tbk dan PT Matahari Departement Store Tbk. 

Di Bursa Efek Indonesia, sejauh pengamatan saya, hanya kedua perusahaan itulah yang mampu mencetak laba hingga 100% lebih per tahun! Luar biasa bukan? Sungguh sangat langka kita bisa menemukan perusahaan yang bisa mendulang untung sebesar itu.

Bagaimana perusahaan-perusahaan tersebut bisa dapat untung sebesar itu? Jawabnya adalah karena produk yang dihasilkannya sangat minim modal. Perhatikan produk dari Unilever, seperti rinso, pepsodent, dan lifebuoy. Semua produk itu dibikin dengan teknologi produksi yang rendah dan bahan baku yang harganya murah. 

Namun, begitu produk tersebut akan dilepas ke pasar, perusahaan bisa mematok keuntungan lebih tinggi dari modalnya. Makanya, dari setiap produk yang berhasil dijual, perusahaan bisa mengeruk keuntungan berlipat-lipat.

Hal yang sama juga berlaku di Matahari Departement Store. Kita tahu bahwa inti bisnis Matahari sebetulnya adalah penyediaan ruang. Biarpun dikenal sebagai gerai yang menawarkan busana berkualitas, nyatanya, Matahari sama sekali tidak memproduksi pakaian.

Mayoritas produk yang terdapat di gerai Matahari diambil dari pemasok dan dijual dengan sistem konsinyasi alias titip jual. Lalu, dengan gerai yang memang diperuntukkan bagi kalangan menengah ke atas, manajemen bisa memasang margin keuntungan yang besar, bahkan bisa melampaui harga dari pemasoknya. 

Semakin banyak produk yang terjual, semakin besar keuntungan yang didapatnya. Lagi-lagi, keuntungan sebesar itu diperoleh tanpa menggunakan teknologi tinggi.

Beda "cerita"-nya dengan perusahaan lain, seperti maskapai penerbangan. Boleh dibilang bahwa industri penerbangan bukan industri yang "ramah" untuk para investor saham. Sebab, keuntungan yang dihasilkan dari maskapai penerbangan terbilang kecil---sangat kecil bahkan.

Mengapa bisa begitu? Karena semuanya serba mahal. Gaji karyawannya tinggi. Ongkos beli pesawat besar. Biaya perawatan pesawat juga cukup menguras "kantong" perusahaan. Belum lagi bahan bakar pesawat yang harganya naik-turun mengikuti harga minyak dunia.

Sementara, harga tiket pesawat tergolong "murah". Harganya juga tidak bisa dinaikkan sewaktu-waktu. 

Sebab, kalau itu dilakukan, pelanggan bisa kabur ke "maskapai tetangga" yang menawarkan harga tiket yang lebih murah. Jadi, kalau tiket pesawat terus ditekan dan belanja modalnya besar begitu, bagaimana perusahaan bisa untung banyak?

Perusahaan seperti Unilever dan Matahari Departement Store bisa menghasilkan keuntungan yang besar karena mereka berbisnis memakai teknologi rendah. Makanya, selama bertahun-tahun, keuntungan mereka bertumbuh secara konsisten. Demikian pula dengan EPS di setiap lembar saham mereka.

Dari uraian di atas, kita bisa menarik satu simpulan. Bahwa kalau ingin harga saham terdongkrak, kita mesti mencermati pertumbuhan EPS-nya. Sebab, EPS ibarat sebuah "vitamin", yang bisa menjaga "stamina" perusahaan dalam mengarungi "belantara" bisnis yang penuh dengan persaingan.

Konsistensi pertumbuhan EPS juga bergantung pada tipe perusahaan tertentu. Sebab, EPS yang terus bertumbuh umumnya ditemukan pada perusahaan berteknologi rendah. 

Jadi, kalau ingin menemukan perusahaan yang EPS-nya meningkat dari waktu ke waktu, sebetulnya "rumus"-nya mudah saja. Kita cukup mencari perusahaan berteknologi rendah, yang belanja modalnya minim, tapi menghasilkan cuan yang besar.

Salam.
Adica Wirawan, founder of Gerairasa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun