Pada masa lampau, manusia primitif menjalani hidup secara berkelompok. Mereka merasa lebih tenang dengan mengikuti orang lain, alih-alih hidup menyendiri.
Biarpun mesti tinggal di tempat-tempat berbahaya yang dihuni oleh banyak binatang buas, kehadiran orang lain di sekitar mereka setidaknya menciptakan perasaan aman, bebas dari ketakutan. Sebab, kalau ada serangan dari luar, mereka punya kekuatan, lantaran ada orang lain yang membantu.
Perilaku itu kemudian terus "dilestarikan" dari generasi ke generasi. Jadi, dalam banyak situasi, kita sering menjumpainya, termasuk di pasar modal.Â
Akibat dari pengaruh social proof, banyak orang, khususnya investor pemula, yang ikut-ikutan memborong saham lantaran orang lain juga melakukannya.
Tanpa didasari oleh analisis yang mantap, mereka ibarat "beli kucing dalam karung". Mereka tidak tahu apa yang mereka beli; yang mereka tahu adalah orang lain juga membelinya.
Hal itulah yang sering menyebabkan buble di pasar saham; orang-orang menghargai terlalu tinggi sebuah "besi tua berkarat", dan baru sadar bertahun-tahun setelah memilikinya.
Akibatnya, ketika emitennya kemudian bangkrut, sahamnya jadi anjlok, dan ribuan orang kehilangan uangnya di pasar modal.
Uniknya lagi, hal itu terus saja terulang dari waktu ke waktu, dari dulu sampai sekarang, seolah pelaku pasar tidak pernah "berkaca" dari pengalaman yang sudah-sudah. Lagi-lagi saya menemukan "anomali" lain di pasar modal.
Sekiranya itulah sekelumit "anomali" yang saya temukan di bursa. Barangkali masih ada "anomali" lain yang masih terdapat di sana.Â
Dengan mengetahuinya, kita tentu jadi lebih hati-hati sewaktu memasuki bursa. Biar kita tidak terjebak di dalamnya.
Salam.