Sejak mengenal dunia saham, saya menemukan beberapa "anomali". Satu di antaranya adalah perilaku sejumlah orang yang rajin berdagang saham secara harian.Â
Sebetulnya itu ialah hal yang lumrah dilakukan di lantai bursa. Namun, yang aneh adalah soal kualitas saham yang diperdagangkan.
Sekadar informasi, tidak semua saham yang diperjualbelikan di bursa punya kualitas bagus. Lewat "cerminan" laporan keuangannya, ada sejumlah saham yang sebetulnya tidak layak dijadikan sebagai sarana investasi.
Sebab, emitennya memiliki kinerja yang kurang baik; labanya kecil, modalnya besar, utangnya banyak, sektor usahanya payah, dan pendapatannya terus turun.Â
Beberapa indikator kuat yang menggambarkan secara jelas bahwa emiten sedang bergerak menuju kebangkrutan, dan bukan sebaliknya. Namun, anehnya, justru saham dari emiten itulah yang ramai ditransaksikan.Â
Ada ribuan, atau bahkan jutaan lembar saham berkualitas jelek seperti itu, yang berpindah tangan setiap harinya, dan kalau menengok banyaknya nilai transaksi yang terjadi, saya kadang bertanya, "Mengapa orang-orang mau memperjualbelikan saham dari emiten yang kinerjanya payah begitu? Mengapa mereka lebih senang memperdagangkan 'besi tua' (saham berkualitas buruk) daripada 'butiran emas' (saham berkualitas bagus)?"
Awalnya saya agak ragu dengan kalimat itu. Saya pikir, "Masak sih orang bisa kehilangan akal sehat dengan membeli sesuatu yang tidak mereka ketahui dengan baik?"
Namun, setelah "memantau" situasi pasar, sepertinya saya mesti merevisi pikiran tersebut. Di dalam pasar yang "bergairah", orang-orang bisa menjadi sedemikian irasional, menggelontorkan banyak uang untuk membelanjakan "besi tua", alih-alih mencari "butiran emas", hanya karena banyak orang membelinya juga.
Tanpa memeriksa terlebih dulu, mereka tertarik ikut-ikutan berdagang saham yang sedang ramai ditransaksikan, padahal sebetulnya saham itu lebih mahal dari nilai aslinya dan kinerja emitennya di bawah performa.Â
Sebuah keputusan yang tentunya berisiko tinggi, dan saya jadi menemukan "anomali" lain di pasar saham.
Dalam bukunya, yang berjudul The Art of Thinking Clearly, Rolf Dobelli menyebut bahwa sebetulnya social proof adalah salah satu strategi bertahan hidup, yang sudah dilaksanakan manusia selama berabad-abad silam.