Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Perlukah Dibangun "Apartemen Khusus Manula"?

6 September 2018   10:09 Diperbarui: 6 September 2018   10:51 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin saya menonton The Curious Case of Benjamin Button, sebuah film yang mengangkat "anomali" kehidupan manusia. Sebab, di film itu, kita akan menyaksikan petualangan tokoh bernama Benjamin Button yang menjalani hidup secara "terbalik".

Tidak seperti manusia pada umumnya, Benjamin dikisahkan terlahir dalam wujud kakek-kakek. Makanya, sewaktu melihat fisiknya yang dipenuhi dengan kerutan, ayah kandungnya kemudian membuangnya ke sebuah panti jompo. Ia mungkin merasa malu punya anak yang tubuhnya aneh begitu.

Benjamin kemudian ditemukan, diasuh, dan dirawat oleh Queenie. Ia adalah seorang wanita Afro-Amerika yang sehari-harinya bertugas melayani para manula yang tinggal di panti jompo itu. Ia membesarkan Benjamin dengan limpahan kasih sayang layaknya anak kandungnya sendiri, dan Benjamin pun sudah menganggapnya sebagai orangtuanya.

Tahun demi tahun pun berlalu. Benjamin terus bertumbuh, dan anehnya fisiknya berubah menjadi lebih muda. Rambutnya yang awalnya berwarna putih pelan-pelan menghitam. Kakinya yang gemetar sewaktu ia berjalan perlahan bertambah kuat. Penglihatannya yang dulunya rabun menjadi lebih jelas. Singkatnya, badannya bertambah prima seiring berjalannya waktu.

Pada usia tujuh tahun Benjamin bertemu dengan Daisy Fuller di panti jompo tersebut. Daisy adalah seorang gadis cilik berambut merah, yang menjadi soulmate-nya bertahun-tahun kemudian. Mereka terus berteman, lalu berpisah, lalu bertemu lagi, hingga akhirnya mereka memutuskan membina keluarga bersama setelah dewasa.

Hanya saja, waktu menjadi "ganjalan" bagi hubungan mereka. Saat Daisy bertambah tua, Benjamin justru jadi semakin muda. Pun sebaliknya. Namun, sekuat apapun mereka berupaya mempertahankan cinta, tetap saja mereka harus "tunduk" pada perubahan.

Film yang dibintangi oleh Brad Pitt dan Cate Blanchett itu menawarkan sebuah refleksi tentang kehidupan dan kematian. Bahwa tak ada yang tak berubah, kecuali perubahan itu sendiri. Selain kaya akan nilai-nilai kehidupan, film itu juga "memotret" kehidupan manula yang menghuni panti jompo.

Sewaktu melihat hidup opa dan oma di film, tiba-tiba saja, pikiran saya terpental pada kakek-nenek saya di kampung. Sejatinya, kehidupan mereka tentu tak jauh berbeda, kecuali tempat tinggal. Di dalam film, opa dan oma menjalani hidup bersama, melakukan berbagai aktivitas bersama, dan menyantap makanan bersama pula. Makanya, kehidupan mereka tidak begitu kesepian di panti jompo.

Beda halnya dengan kakek-nenek saya yang tinggal di kampung. Walaupun dirawat oleh keluarga, kakek-nenek saya kerap "dihantui" kesepian. Sebab, sehari-hari tak ada teman ngobrol.

Maklum saja, keluarga kami mayoritas pedagang yang setiap harinya sibuk berjualan. Makanya, keluarga hampir tak punya waktu untuk mengajak mereka ngobrol selepas pulang dagang. Sebab, tubuh dan pikiran mereka tentu sudah lelah setelah seharian melayani pelanggan.

Jadilah kakek-nenek saya menghabiskan mayoritas waktunya dengan berdiam di rumah. Untuk mengusir kesepiannya, kakek saya bahkan membuka toko kecil untuk menjual kopi giling. Walaupun tidak begitu banyak yang beli, setidaknya kegiatan itu bisa "mengusir" kesepian yang membayangi usia senjanya.

Kesepian memang menjadi salah satu hal yang "menghantui" perasaan para manula. Tiadanya teman bicara, banyaknya waktu luang yang terbuang percuma, dan kurangnya perhatian keluarga menjadi pencetus timbulnya kesepian.

Sayangnya pemerintah belum menaruh perhatian kepada kehidupan para manula. Beda halnya dengan negara lain. Di Tiongkok, misalnya, pemerintah menyediakan apartemen khusus manula. Menurut teman saya yang pernah pergi ke sana, ia takjub melihat betapa banyaknya manula yang tinggal di situ.

Para manula itu hidup secara mendiri, jauh dari keluarga. Namun, mereka tidak begitu kesepian. Sebab, setiap harinya, ada saja tetangga yang bisa diajak ngobrol, makan bersama, hingga berolahraga. Makanya, kualitas hidup manula di sana lebih baik, dan harapan hidup mereka pun lebih panjang.

Jadi, pada masa depan, di Indonesia, perlukah dibangun apartemen seperti itu untuk para manula?

Salam.

Adica Wirawan, founder of Gerairasa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun