Pada hari Senin kemarin, wajah teman saya terlihat sembab. Ia sedang sedih lantaran mamanya dirawat di ruang ICU sebuah rumah sakit di kawasan Bekasi Timur. Sewaktu saya ngobrol dengannya, ia berkata mamanya terkena stroke berat. Sudah tiga hari beliau terbaring di rumah sakit tersebut, dan keluarga terus memantau kondisi kesehatannya dari waktu ke waktu.
Teman saya tidak menyangka kalau penyakit itu akan datang "menyerang" mamanya secara tiba-tiba. Pasalnya, sehari sebelum penyakit itu timbul, mamanya masih melakukan aktivitas seperti biasanya.
Bahkan, beliau sempat mengikuti acara gerak jalan dalam rangka memeriahkan Kemerdekaan RI. Walaupun secara kasat mata terlihat sehat, sesungguhnya di tubuhnya terdapat penyakit laten.
Sebelum terkena stroke, mamanya memang diketahui pengidap hipertensi alias darah tinggi. Sudah lebih delapan tahun beliau "berteman" dengan penyakit tersebut. Namun, alih-alih langsung menanganinya, beliau malah mengabaikan keberadaan penyakit itu.
Sepertinya beliau tidak ingin penyakit itu membebani pikiran dan keluarganya. Makanya, beliau hanya minum obat tensi manakala timbul gejala hipertensi, seperti pusing dan sakit fisik. Selebihnya, kalau gejala itu hilang, obat tensi tidak "disentuh" sama sekali.
Ibarat sebuah bola salju, penyakit itu kemudian berakumulasi di tubuh mamanya dari tahun ke tahun. Makanya, saat penyakit itu muncul secara mendadak, pihak keluarga kaget. Keluarga panik mengetahui badan beliau sudah tak bisa digerakkan pada Sabtu pagi.
Keluarga kemudian segera membawa beliau ke rumah sakit. Oleh dokter, beliau didiagnosis terkena pecah pembuluh darah di otak. Akibatnya, sebuah selang ditanam di kepalanya untuk saluran darah, dan selama beberapa hari, beliau terbaring koma di ruang ICU.
Sewaktu mendengar kondisi mamanya, pikiran saya "terpental" pada papa saya. Papa saya juga seorang pengidap darah tinggi yang "bandel" kalau diminta minum obat. Biarpun papa masih aktif bekerja, saya tetap mengkhawatirkan kesehatannya. Bagi saya, kesehatan papa adalah yang utama, apalagi ia sudah menginjak usia di atas enam puluhan.
Saya kemudian minta saran kepada teman saya itu. Siapa tahu saja ia bisa memberi saya sebuah nasihat agar saya dapat mencegah penyakit tersebut. Kepada saya, ia menganjurkan membeli alat pengukur tensi alias tensimeter. "Bagi pengidap darah tinggi, alat itu penting, Ca," katanya. "Biar keluarga bisa memantau tekanan darah bokap lu sewaktu-waktu."
Selama ini, keluarga kami belum memiliki tensimeter. Kami hanya menganggap pemberian obat tensi saja sudah cukup. Makanya, buat apa kami membeli tensimeter yang harganya lumayan mahal itu? Namun, ternyata kami keliru.
Biarpun bukan berasal dari kalangan medis, tidak ada salahnya kalau kami menyediakan alat-alat kesehatan macam tensimeter di rumah. Apalagi, kini terdapat tensimeter digital, yang mempermudah pengukuran tekanan darah. Tanpa wawasan dalam dunia medis, kita bisa tahu apakah tekanan darah seseorang sedang tinggi atau rendah, dan selanjutnya baru bisa mengambil langkah pencegahan.