Maklum saja, menurut beliau, masyarakat Indonesia kini hidup di dua "dunia", yaitu "dunia nyata" dan "dunia maya". Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa "dunia maya" ternyata punya pengaruh dahyat karena bisa "menyetir" pola pikir masyarakat. Semua itu bisa terjadi akibat masyarakat mudah termakan berita palsu alias hoax.
Untuk menangkal hoax, Pak Lukman menyarankan supaya masyarakat melakukan verifikasi data. "Kita bisa bertanya untuk mengklarifikasi informasi kepada orang lain yang tepat, yaitu kepada sumber informasi tersebut," jelasnya. Dengan bertanya balik kepada orang yang menyebarkan informasi, kita bisa segera mengetahui sumber informasi tersebut, sehingga kita bisa "mengerem" penyebaran suatu informasi yang belum valid kebenarannya sebelum meneruskannya kepada orang lain.
Kemudian, Pak Lukman juga mengingatkan bahwa satu syarat saat aktif main medsos adalah "jangan baper". Makanya, masyarakat dianjurkan kembali ke esensi agama sebelum intens bermedia sosial. Ajaran agama menjadi "benteng", yang dapat menangkis sikap mudarat yang mungkin akan muncul saat kita berjumpa dengan orang-orang yang berbeda pandangan dengannya di jagat maya. Dengan demikian, perseteruan antar sesama pengguna medsos dapat diminimalkan.
Demikianlah "resep" yang disampaikan Pak Lukman dalam bermedia sosial, dan andaikan boleh memberi tambahan, saya akan menambahkan "resep" lainnya. Satu, mensosialisasikan prinsip bermedia sosial di sekolah. Selama ini, satu faktor yang menyebabkan mudahnya pernyebaran hoax adalah kurangnya pemahaman tentang prinsip bermedia sosial.
Masyarakat sepertinya belum mengerti betul prinsip "saring sebelum sharing", yang umumnya menjadi acuan manakala menerima informasi yang belum teruji kebenarannya.
Hal itu bisa terjadi karena prinsip tersebut jarang disosialisasikan kepada masyarakat. Untuk itu, pemerintah perlu memerhatikan pengajaran prinsip bermedia sosial di masyarakat.
Pengajaran itu pun bisa dimulai di sekolah. Sebab, sekolah adalah tempat yang tepat untuk menanamkan prinsip tersebut kepada generasi penerus. Sayangnya, guru jarang menyinggung soal prinsip tersebut di kelas.
Makanya, siswa hanya diajarkan tentang sejarah teknologi informasi, dikenalkan tentang tokoh-tokoh pencipta media sosial, tetapi jarang diajarkan tentang prinsip yang mesti diamalkan dalam media sosial.
Pengajaran itu tak melulu harus lewat ceramah, tetapi bisa melalui keteladanan. Sebagai role model, guru mesti terlebih dulu menerapkan prinsip "saring sebelum sharing". Dengan demikian, siswa bisa mencontoh sikap baik yang ditunjukkan gurunya di dunia maya. Bagaimanapun tindakan mengajarkan lebih banyak hal daripada kata-kata. Â
Dua, menjalin kerja sama dengan organisasi yang secara khusus menangani validitas informasi. Sebetulnya ide itu terinspirasi dari Aos Fatos. Aos Fatos adalah lembaga jurnalistik independen yang didirikan oleh jurnalis Tai Nalon.
Organisasi itu mendedikasikan diri untuk menelusuri kebenaran dari berita-berita yang tersiar di Brasil. Ia menjadi lembaga investigasi sekaligus tempat untuk mengkroscek validitas suatu informasi. Berkat sepak terjangnya, ia juga dipercaya menjadi salah satu mitra Facebook untuk memerangi hoax di media sosial.