Suatu ketika, dalam ciutan di twitter, penyair Joko Pinurbo (Jokpin) pernah menulis: "Ajarilah kami para pemimpi yang gigih ini untuk berdamai dengan segala andai." Sepertinya Jokpin sadar betul bahwa berandai-andai itu "sulit". Apalagi kalau diminta berandai-andai menjadi seorang menteri agama.
Walaupun hanya berkhayal, sewaktu berandai-andai sekalipun, kita harus tahu "batas". Jangan sampai kita bablas berandai-andai hingga semua yang diandaikan menjadi mimpi siang bolong. Makanya, kita pun harus tetap bersikap realistis. Seperti kata William Tanuwidjaya, CEO Tokopedia: "Bermimpilah dengan mata terbuka." Jadi, dengan tetap membuka mata terhadap realita, semua yang diandaikan bisa saja terwujud menjadi kenyataan suatu hari nanti.
"Andaikan saya menjadi menteri agama, apa yang akan saya lakukan untuk menyikapi ujaran kebencian, berita hoax, dan perilaku dalam bermedia sosial yang dapat mencederai kerukunan antarumat beragama di Indonesia?" Jelas itu merupakan pertanyaan yang sulit dijawab. Sebab, dibutuhkan uraian yang terbilang kompleks untuk menjawabnya.
Kalau "bercermin" pada kehidupan nyata, sebetulnya cukup sulit kalau kita ingin memberantas persebaran hoax di internet. Ibarat sebuah bayang-bayang, berita tersebut terus "menghantui" jagat maya.
Penyebaran hoax seolah sulit dibendung, ditangkal, dan dihentikan. Sejumlah negara telah melakukan berbagai cara untuk meminimalkan persebaran hoax. Hasilnya? Hoax masih saja dapat "menyusup" ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Hoax yang paling "renyah" disantap oleh warganet di antaranya adalah berita politik. Sepertinya topik tentang pemerintahan, kekuasaan, dan pemilihan umum menjadi "sumber mataair" bagi "produsen hoax" untuk menciptakan dan menyebarkan lebih banyak kabar-kabar palsu kepada masyarakat dengan berbagai tujuan.
Seperti dilansir dari dailytimes.com, sebuah laporan dari Massachusetts Institute of Technology pada tahun 2018 menyebutkan bahwa kabar politik palsu mampu menyebar lebih luas, menjangkau lebih banyak orang, dan menjadi lebih cepat viral daripada kategori informasi palsu lainnya. Mengapa bisa terjadi demikian? Sebab, orang-orang menyukai sesuatu yang "sensasional", "kontroversial", dan "bombastis". Bad news is good news.
Telah banyak negara yang mengalami pergolakan akibat persebaran berita palsu. Makanya, secara serius, berbagai negara berupaya "memerangi" penyebaran berita tersebut. Sebut saja, Jerman yang akan menjatuhkan denda sebesar 50 juta euro kepada perusahaan media sosial (medsos) manapun, yang kontennya mayoritas berisi kabar bohong. Pemerintah Jerman sepertinya menyadari benar bahwa media sosial adalah "gerbang utama" bagi arus persebaran hoax.
Maklum saja, media sosial memang mengutamakan penyebaran. Berita heboh apapun akan mudah tersiar dengan cepat lewat medsos. Jadi, salah satu cara untuk menekan penyebaran hoax adalah dengan mengawasi medsos secara ketat.
Andaikan Saya Menjadi Menteri Agama
Persoalan tentang hoax juga menjadi perhatian serius Menteri Agama Republik Indoneisa, Bapak Lukman Hakim Saifuddin. Sewaktu saya menghadiri acara Perspektif Kompasiana beberapa bulan yang lalu, Pak Lukman banyak membahas isu-isu di medsos.