Makanya, untuk menghindari kesalahpahaman, perlu dicarikan kata lain yang maknanya sepadan dengan kata phubbing.
Selain masalah makna, dampak phubbing juga menarik dibahas. Sebab, ternyata phubbing bisa berefek negatif. Dalam sejumlah jurnal, phubbing disebut-sebut bisa menjadi "biang keladi" dari renggangnya sebuah hubungan.
Hal itu tentu bisa dimaklumi. Bagaimana kita bisa berkomunikasi dengan lancar apabila "mitra bicara" kita sibuk dengan smartphone-nya sendiri? Bagaimana kita bisa nyaman berbincang-bincang dengannya kalau matanya terus saja "terpaku" pada layar ponsel?
Kita tentu akan merasa "diabaikan". Kemudian, kita jadi malas berkomunikasi dengan orang yang bersangkutan.
Sewaktu melihat gejala phubbing, pikiran saya tiba-tiba "terbang" pada istilah nomophobia. Mungkin saja kedua kata itu termasuk "penyakit mental zaman now", yang banyak diidap oleh pengguna smartphone masa kini.
Seperti phubbing, pengidap nomophobia pun punya gejala yang mirip. Ia lebih sering berinteraksi secara virtual daripada sosial. Hanya saja, pengidap nomophobia barangkali punya perilaku yang lebih "ekstreem".
Sebab, ia tak bisa jauh dari ponsel. Kalau ponsel tertinggal di rumah, misalnya, ia bisa merasa sangat gelisah sepanjang perjalanan. Makanya, ke mana pun, ia harus membawa ponsel.
Bagi saya, phubbing dan nomophobia ialah "bonus" dari perkembangan teknologi. Mereka hadir bersama semua kemudahan yang "ditawarkan" oleh kemajuan smartphone dan internet.
Hanya saja, "bonus" yang satu ini ternyata tak memberi lebih banyak manfaat, tetapi malah menghadirkan mudarat. Mudah-mudahan saja, pada saat Lebaran nanti, tak banyak orang yang asyik dengan ponselnya sendiri, sehingga tak kehilangan momen berharga dalam silaturahmi.
Salam.
Adica Wirawan, founder of Gerairasa