Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Phubbing", Penyakit Mental "Zaman Now"?

5 Juni 2018   10:09 Diperbarui: 5 Juni 2018   14:30 4179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: cdn2.tstatic.net

Kemarin saya menemukan satu kata "unik" sewaktu melihat satu posting-an di instagram. Kata itu ialah phubbing yang merupakan kependekan dari phone snubbing. Kata itu terdengar "asing" di telinga saya. Makanya, saya kemudian tertarik "mengulik" informasi di dalamnya lebih jauh.

Dalam posting-an tersebut, kata phubbing diterjemahkan sebagai "takada", yang merupakan penggabungan antara kata "tak" (tidak) dan "ada". Saya tidak memahami alasan si penulis menerjemahkannya demikian. Pasalnya, saya merasa bahwa terjemahannya terasa kurang tepat biarpun kata takada sudah termaktub di KBBI.

Kalau menelusuri kamus lain, kita akan menemukan beragam arti kata phubbing. Umumnya mendefinisikan phubbing sebagai sebuah "kecanduan" berkomunikasi via smartphone alih-alih bertatap muka secara langsung.

Saya sebut "kecanduan" sebab "pengidap" phubbing biasanya kurang nyaman berinteraksi secara sosial. Mereka bisa merasa "kikuk", "salah tingkah", atau "mati gaya" sewaktu diajak berbicara dengan orang lain di sebelahnya.

Untuk mengatasi ketidaknyamanan tersebut, mereka kemudian membuka smartphone-nya, dan terlihat nyaman mengobrol dengan teman di dunia maya daripada teman yang jelas-jelas berada di dekatnya.

Fenomena phubbing dapat dijumpai di mana saja dan kapan saja. Pernah lihat seseorang yang asyik dengan ponselnya sendiri dalam waktu yang lama biarpun ia sedang berkumpul dengan teman-temannya dalam acara bukber?

Pernah berjumpa dengan anggota keluarga yang tiba-tiba "menjauhi" keramaian lantaran lebih senang berinteraksi dengan smartphone-nya daripada bersilaturahmi dengan anggota keluarga lainnya?

Bisa jadi, mereka "mengidap" phubbing.

Seperti disinggung di atas, biarpun sempat dipadankan dengan kata "takada", saya merasa terjemahan itu belum "mewakili" konsep phubbing dengan pas. Sebab, terjemahan itu bisa menciptakan mispersepsi.

Orang bisa beranggapan bahwa "pengidap" phubbing tak hanya "alpa" dalam pikiran, tetapi juga secara fisik. Padahal, jelas-jelas fisik orang tersebut hadir dalam interaksi sosial.

Hanya pikirannya saja yang "mengembara" saat berkomunikasi dengan orang lain lantaran terlalu sibuk memikirkan hal lain atau seseorang di dunia maya.

Makanya, untuk menghindari kesalahpahaman, perlu dicarikan kata lain yang maknanya sepadan dengan kata phubbing.

Selain masalah makna, dampak phubbing juga menarik dibahas. Sebab, ternyata phubbing bisa berefek negatif. Dalam sejumlah jurnal, phubbing disebut-sebut bisa menjadi "biang keladi" dari renggangnya sebuah hubungan.

Hal itu tentu bisa dimaklumi. Bagaimana kita bisa berkomunikasi dengan lancar apabila "mitra bicara" kita sibuk dengan smartphone-nya sendiri? Bagaimana kita bisa nyaman berbincang-bincang dengannya kalau matanya terus saja "terpaku" pada layar ponsel?

Kita tentu akan merasa "diabaikan". Kemudian, kita jadi malas berkomunikasi dengan orang yang bersangkutan.

Sewaktu melihat gejala phubbing, pikiran saya tiba-tiba "terbang" pada istilah nomophobia. Mungkin saja kedua kata itu termasuk "penyakit mental zaman now", yang banyak diidap oleh pengguna smartphone masa kini.

Seperti phubbing, pengidap nomophobia pun punya gejala yang mirip. Ia lebih sering berinteraksi secara virtual daripada sosial. Hanya saja, pengidap nomophobia barangkali punya perilaku yang lebih "ekstreem".

Sebab, ia tak bisa jauh dari ponsel. Kalau ponsel tertinggal di rumah, misalnya, ia bisa merasa sangat gelisah sepanjang perjalanan. Makanya, ke mana pun, ia harus membawa ponsel.

Bagi saya, phubbing dan nomophobia ialah "bonus" dari perkembangan teknologi. Mereka hadir bersama semua kemudahan yang "ditawarkan" oleh kemajuan smartphone dan internet.

Hanya saja, "bonus" yang satu ini ternyata tak memberi lebih banyak manfaat, tetapi malah menghadirkan mudarat. Mudah-mudahan saja, pada saat Lebaran nanti, tak banyak orang yang asyik dengan ponselnya sendiri, sehingga tak kehilangan momen berharga dalam silaturahmi.

Salam.

Adica Wirawan, founder of Gerairasa

Referensi: "'Phubbing', Fenomena Sosial yang Merusak Hubungan", cnnindonesia.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun