Demi mengalirkan "cinta",
aku pergi membawa linggis
dan mencoba membelah bukit
agar terlepas dahaga para lembu
dan terbasahi akar-akar padi.
Sebab, kampungku hanyalah "ladang tandus".
Sudah bertahun-tahun ia "dianaktirikan" musim.
Hujan seolah enggan datang berkunjung.
Sepanjang siang hanya butiran debu
beterbangan layaknya berita hoax di jagat maya.
Demi mengalirkan "cinta",
aku pergi membawa linggis
dan mencoba membelah bukit.
Sebab, di belakang bukit kapur itu
terdapat sungai yang mengalirkan "cinta"
yang mampu mengakhiri sengsara warga desa
Dengan tangan kukeruk sedikit demi sedikit
batu bukit yang keras, terjal dan tajam
Biarlah tanganku terbakar matahari hingga legam
Asalkan semua upayaku membawa berkah nantinya
Demi mengalirkan "cinta",
aku pergi membawa linggis
dan mencoba membelah bukit.
Namun, hanya sedikit yang mendukungku
Bahkan, sebagian mencemooh upayaku
dan bilang kalau aku sudah gila!
Padahal, aku bekerja demi kebaikan bersama
tanpa mengharapkan pamrih apa-apa.
Selama setahun bekerja, aku "menebalkan" muka
mengabaikan suara sindiran dari para tetangga
Demi mengalirkan "cinta",
aku pergi membawa linggis
dan mencoba membelah bukit
Setelah aku bersusah-payah,
bukit itu akhirnya terbelah
Sungai pun mengalirkan "cinta" yang berlimpah ruah
Berakhirlah paceklik yang merundung desa
Warga yang dulu mencibir usahaku berbalik memujiku
Sejarah memang selalu menjadi milik orang-orang
yang berani mengambil keputusan
 *Puisi ini diinspirasi dari kisah Slamet Suriawan Sahak, seorang lelaki asal Nusa Tenggara Barat, yang membelah bukit dengan tangannya sendiri. Upaya itu dilakukan supaya ia bisa membikin sodetan di Sungai Sordan untuk mengaliri kampungnya yang tandus. Setelah berusaha sekitar setahun lebih, ia sukses membelah bukit tersebut dan mengalirkan sungai ke desanya hingga warga kampung tersebut terbebas dari bencana kekeringan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H