Setelah selesai menghadiri acara Kompasiana di kawasan Serpong pada tanggal 25 Maret lalu, bersama teman-teman Kompasianer lainnya, saya memesan layanan Gocar, dan kebetulan saja, mendapat seorang driver yang "senang" curhat kepada penumpangnya.
Sebut saja ia Heri. Berdasarkan obrolan awal yang dilakukan, saya menjadi tahu sekilas kehidupannya, beserta sekelumit "pahit-manis" pengalamannya sewaktu ia menekuni pekerjaan yang sudah menjadi tren tersebut.
Heri mengakui telah menjadi driver Gocar cukup lama. Tidak seperti lainnya, ia menjadikan pekerjaan itu sebagai mata pencaharian utama. Makanya, wajar saja kalau setiap hari, ia "terjun" ke jalan sepanjang hari dan bertemu dengan beragam jenis orang. Lewat interaksi itulah ia sering mendapat "oleh-oleh" berupa pengalaman, yang isinya seolah penuh dengan "drama".
Satu di antaranya dibagikan kepada saya dan kawab-kawan. Pada saat itu, sambil menyetir, Heri menceritakan pernah mendapat penumpang yang "istimewa". Pasalnya, penumpang itu memesan melebihi kapasitas.
Sekadar informasi, layanan Gocar hanya tersedia maksimal bagi empat penumpang. Namun, pada waktu itu, Heri mendapat delapan penumpang! Wkwkwkwkwkwkwk.
Memang, kapasitas mobil yang dibawanya mampu mengangkut semua penumpang itu. Namun, lantaran melebihi "jatah kursi" yang ditetapkan, Heri melakukan negosiasi. Ia merasa perlu mengenakan cash tambahan.
"Karena Ibu bawa banyak teman, uang tambahannya bagaimana?" Kata Heri, berbicara sesopan mungkin demi menunjukkan profesionalitasnya dan menjaga perasaan penumpangnya.
"Baik, Pak, nanti akan saya tambah," kata si penumpang.
Biarpun si penumpang enggan menyebutkan uang tambahan di luar tarif, Heri menyanggupinya. Lagi-lagi ia enggan berkata-kata. Sebab, ia ingin penumpangnya merasa nyaman dengan pelayanannya.
Jadi, berangkatlah Heri membawa semua penumpang yang berjumlah delapan orang itu ke lokasi yang dituju. Perjalanan itu menghabiskan waktu cukup lama dan tibalah mereka ke lokasi. Sewaktu turun, si penumpang menyetorkan uang pembayaran.
Namun, nominalnya ternyata di luar harapan Heri. Pasalnya, si penumpang hanya memberi uang tambahan Rp 2000 saja untuk delapan penumpang! Sedih? Jelas! Namun, Heri tidak ambil pusing atas perilaku penumpang yang dibawanya.
Pasalnya, kalau membandingkan kisahnya dengan temannya sesama driver angkutan online, kisahnya belumlah apa-apa! Cerita itu sendiri dimulai sewaktu Heri menyinggung "kisah getir" yang dialami temannya. Sebut saja ia Hilman.
Hilman pun tiba di lokasi, masuk ke parkiran, sementara si penumpang berdiri menunggu di pintu keluar. Jalan di pusat niaga itu satu arah, sehingga kalau terlewat satu pintu, mobil harus memutar cukup jauh.
Celakanya, Hilman terlewat beberapa mobil di parkiran, cukup jauh dari gerbang tempat si penumpang menanti.
"Halo. Pak, saya tunggu di depan, dekat mobil x. Saya terlewat beberapa mobil dari pintu keluar tempat Bapak berdiri. Susah putar balik." Kata Hilman, dari ujung telepon.
Namun, dengan ketus, si penumpang tetap kukuh kalau Hilman harus menjemputnya persis di depan pintu keluar. Kemudian, Hilman menawarkan diri menjemputnya memakai payung, sehingga ia tak perlu berputar.
Akan tetapi, si penumpang tetap menolak dengan suara keras. Akhirnya, Hilman pun mengalah. Ia memilih memutar untuk menjemput si penumpang. Singkat cerita, masuklah si penumpang ke mobil Hilman.
Akibat peristiwa itu, si penumpang menjadi bad mood. Pasalnya, sewaktu Hilman meminta uang parkir yang harus dibayarkan di loket keluar, si penumpang malah marah-marah.
"Itu kan urusan Bapak!" Katanya disertai nada tinggi.
Lagi-lagi Hilman mengalah. Ia rela merogoh uang dari kantongnya untuk membayar parkir.
Seperti sudah bisa ditebak, perjalanan itu terasa penuh "ketegangan". Si penumpang ogah menunjukkan jalan kepada Hilman dan malah menyuruhnya mencari saja lokasi yang dimaksud di aplikasi, biarpun Hilman telah bersikap seramah mungkin!
Dengan susah payah, akhirnya Hilman berhasil mencapai lokasi yang dituju. Berakhirlah "drama" perjalanan yang sangat mencekam itu!
Namun, seperti kisah drama lainnya, ternyata babak lain masih berlanjut! Pasalnya, esok paginya, Hilman kaget mengetahui bahwa akun driver-nya telah di-suspend, sehingga ia tidak bisa bekerja selama lima hari!
Hilman kemudian menghubungi call center dan si petugas menjelaskan alasan akunnya diblokir. Ternyata penyebabnya ialah ulah si penumpang yang kemarin dibawanya. Si penumpang yang kecewa berkoar-koar, kemudian mengirim laporan yang buruk kepada call center, sehingga si petugas kemudian mem-blacklist akun Hilman sementara waktu.
Hilman murka mendengar hal itu. Tanpa tendeng aling-aling, ia langsung mendatangi kediaman si penumpang. Kebetulan, saat itu, si penumpang baru akan masuk ke mobil yang dipesannya.
Namun, sebelum berangkat, Hilman langsung menyerobot menemui si driver, dan meminta si driver agar membatalkan order-an si penumpang tadi.
"Sini biar gue batalin order-annya. Gue ganti uangnya. Asal lu tau. Gara-gara orang ini, akun gue diblokir."
Seperti yang sudah-sudah, drama itu berakhir dengan "kekacauan". Semuanya berujung pada pertengkaran hebat antara si penumpang dan si driver.
Biarpun penuh kegetiran, setidaknya masih ada "amanat" yang bisa dipetik.
Pertama, cerita di atas seyogyanya menjadi pelajaran bagi driver online dalam menentukan putusan untuk mengangkut penumpang. Sebab, tidak semua penumpang layak dilayani. Kalau awalnya sudah ada "rambu kuning" dalam komunikasi yang mengarah pada "bibit-bibit" konflik, lebih baik si driver membatalkan order alih-alih terjadi peristiwa yang kurang enak seperti di atas.
Kedua, penumpang juga perlu belajar menghormati driver. Pasalnya, keberadaan angkutan online mengusung konsep ride-sharing. Penumpang dan driver berbagi kendaraan menuju sebuah lokasi. Makanya, para driver janganlah dianggap sebagai "sopir pribadi", yang bebas disuruh-suruh seenaknya.
Ketiga, pelajaran yang sama juga berlaku untuk penyedia aplikasi. Pasalnya, selama ini, hanya pihak driver-lah yang mendapat rating. Sementara itu, tidak ada fitur rating di aplikasi penumpang. Hal itulah yang kemudian bisa menyebabkan penumpang berlaku sesukanya kepada driver.
Sayangnya, Heri tidak melanjutkan kisahnya lantaran kami sudah sampai di lokasi. Namun demikian, kami mendapat sebuah amanat seperti di atas, serta sedikit harapan agar "drama" serupa jangan sampai terulang pada siapapun.
Salam.
Adica Wirawan, founder of Gerairasa.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H