Sebuah pemandangan unik tiba-tiba saja "menghentikan" langkah kaki saya. Pada saat itu, saya sedang berada di peron jalur tiga Stasiun Bekasi, dan di seberang peron tersebut, saya melihat sebuah vertical garden yang sederhana. Saya sebut "sederhana" karena vertical garden itu disusun menyerupai anak tangga dan dipaku di permukaan dinding. Di tepi-tepinya beberapa botol bekas diletakkan sedemikian rupa sehingga sejumlah jenis tanaman hijau yang tumbuh di dalamnya bisa terlihat dengan jelas.
Kehadiran vertical garden di tengah situasi stasiun yang sering dipadati penumpang itu jelas lebih dari sekadar "pemanis". Sebab, sewaktu memandangnya lama, kita seolah akan "tersihir" oleh kesegaran yang dibawanya. Makanya, bagi saya pribadi, vertical garden demikian tak hanya mampu "memanjakan" mata, tetapi juga menghadirkan kesejukan di hati.
Satu cara untuk mewujudkan keinginan tersebut ialah vertical garden. Maklum saja, vertical garden ialah sistem berkebun yang paling tepat untuk masyarakat perkotaan. Pasalnya, sistem tersebut memaksimalkan ruang yang terbatas di kota-kota besar. Makanya, jangan heran kemudian sistem tersebut menjadi populer di masyarakat urban. Sejak terjadi "demam" urban farming beberapa tahun lalu, kita sering menjumpai pemilik rumah yang menghiasi kediamannya dengan vertical garden. Lahan yang sedemikian sempit tidak lagi menjadi halangan untuk menikmati "seni" berkebun.
Namun demikian, yang menjadi persoalan ialah apakah itu hanya sebuah tren sesaat, seperti popularitas batu akik beberapa tahun lalu, atau telah menjadi suatu gaya hidup yang terus dilaksanakan sampai saat ini? Pertanyaan itu tentunya butuh kajian yang dalam dan aktual.
Saya tidak akan menjawabnya secara langsung. Namun, berdasarkan pengamatan, saya mengamati bahwa masih cukup jarang tetangga di sekitar rumah saya yang punya hobi berkebun dan punya vertical garden di rumahnya. Hal itu tentunya menunjukkan bahwa vertical garden belum menjadi bagian seutuhnya dalam sendi masyarakat kota.
Saya tidak tahu penyebabnya, tapi berdasarkan pengalaman pribadi, yang dulunya "sempat" hobi berkebun, setidaknya saya "memetakan" tiga buah alasan seseorang enggan berkebun di rumahnya.
Terlalu Sibuk untuk Merawat Tanaman
Hal itu tentu bisa dimaklumi. Pasalnya, masyarakat perkotaan mayoritas menghabiskan waktunya untuk pekerjaan. Sejak pagi-pagi benar, mereka sudah berangkat bekerja, dan baru kembali pada sore atau bahkan malam hari. Hal itulah yang membikin masyarakat kota merasa "segan" memelihara tanaman karena waktu yang tersedia sangat sedikit. Akhirnya, alih-alih terpikir berkebun di rumah, waktu luang yang ada justru dilakukan untuk kegiatan lain, seperti liburan atau istirahat, setelah lelah bekerja sepanjang hari.
Serangan Hama yang Bikin Rugi
Walaupun kita tinggal di kota, bukan berarti lahan yang ditinggali bebas dari hama. Buktinya, setelah mencoba berkebun di rumah, saya malah sering mengalami rugi karena tanaman yang sudah dirawat berhari-hari "ludes" dimakan tikus dalam semalam dan itu terjadi beberapa kali sewaktu saya masih aktif berkebun. Hal itu jelas menyebabkan kerugian berupa uang dan waktu. Makanya, setelah berulang-ulang dirusak tikus, saya akhirnya menyudahi hobi saya.
Belum Banyak Gerakan Urban Farming di Kalangan Anak Muda
Berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya, masih sedikit kalangan muda yang tergerak melaksanakan urban farming. Makanya, jangan heran sewaktu saya membudayakan hal tersebut di sekitar rumah, saya sering mendapat "pandangan remeh" dari orang lain.
Hal itu tentunya bisa dimaklumi. Sebab, masyarakat umumnya punya stereotif kalau berkebun ialah kegiatan yang hanya dilakukan oleh orangtua, bukannya anak muda. Oleh sebab itu, kalau ada anak muda yang "gandrung" berkebun, masyarakat justru menganggapnya "aneh", seperti yang saya alami. Hahahahahahahahahaha.
Jadi, untuk mengubah stereotif itu, sebetulnya kita membutuhkan satu gerakan urban farming di kalangan anak muda. Bukankah kalau beraksi bersama-sama, kita menjadi lebih termotivasi dan percaya diri?
Bagi saya, berkebun itu bukan cuma sarana untuk melepas stres dari rutinitas, melainkan juga belajar mencintai kehidupan. Ada beberapa pelajaran hidup yang sempat saya petik sewaktu saya dulu aktif berkebun, seperti kesabaran, keikhlasan, dan keberanian.
Salam.
Adica Wirawan, founder of Gerairasa.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H