Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

"Vertical Garden", Sebuah "Tren Urban" atau Sekadar "Hiasan"?

17 Februari 2018   10:00 Diperbarui: 17 Februari 2018   13:08 2144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sebuah vertical garden di kawasan palmerah (sumber: dokumentasi pribadi)

Sebuah pemandangan unik tiba-tiba saja "menghentikan" langkah kaki saya. Pada saat itu, saya sedang berada di peron jalur tiga Stasiun Bekasi, dan di seberang peron tersebut, saya melihat sebuah vertical garden yang sederhana. Saya sebut "sederhana" karena vertical garden itu disusun menyerupai anak tangga dan dipaku di permukaan dinding. Di tepi-tepinya beberapa botol bekas diletakkan sedemikian rupa sehingga sejumlah jenis tanaman hijau yang tumbuh di dalamnya bisa terlihat dengan jelas.

Kehadiran vertical garden di tengah situasi stasiun yang sering dipadati penumpang itu jelas lebih dari sekadar "pemanis". Sebab, sewaktu memandangnya lama, kita seolah akan "tersihir" oleh kesegaran yang dibawanya. Makanya, bagi saya pribadi, vertical garden demikian tak hanya mampu "memanjakan" mata, tetapi juga menghadirkan kesejukan di hati.

vertical garden di stasiun bekasi (sumber: dokumentasi pribadi)
vertical garden di stasiun bekasi (sumber: dokumentasi pribadi)
Pemandangan mirip juga saya jumpai di stasiun lain, seperti di Stasiun Jatinegara. Biarpun di situ tidak ada ruang khusus yang disediakan untuk vertical garden, di tiang-tiang peron, saya melihat puluhan pot diikat dengan rapi dengan kawat dan sejumlah tanaman hias tampak tumbuh segar di dalamnya. Pola demikian jelas sesuai dengan kaidah vertical garden dan bagi saya, pemandangan itu sungguh "instagramable", sehingga jemari saya terasa "gatal" untuk mendokumentasikannya lewat lensa kamera tab.

vertical garden di stasiun jatinegara (sumber: dokumentasi pribadi)
vertical garden di stasiun jatinegara (sumber: dokumentasi pribadi)
Vertical garden serupa juga bisa dilihat di luar area stasiun. Misalnya saja, sewaktu saya bertandang ke "markas" Kompasiana, di kawasan Palmerah, untuk menghadiri acara "Tokoh Bicara" beberapa minggu lalu, saya melihat cukup banyak tanaman yang dipelihara dengan sistem vertical garden. Dengan keterbatasan ruang dan sedikit kreativitas, tanaman tersebut hadir "meneduhkan" perasaan setiap pejalan kaki yang lewat di sekitarnya. Uniknya, tanaman tersebut tak hanya berupa tanaman hias, tapi juga tanaman sayur, seperti pakcoi, yang bisa dinikmati.

vertical garden di dekat markas kompasiana (sumber: dokumentasi pribadi)
vertical garden di dekat markas kompasiana (sumber: dokumentasi pribadi)
pakcoi dan selada tumbuh subur di kantong vertical garden (sumber: dokumentasi pribadi)
pakcoi dan selada tumbuh subur di kantong vertical garden (sumber: dokumentasi pribadi)
barang bekas dapat dikreasikan menjadi wadah vertical garden (sumber: dokumentasi pribadi)
barang bekas dapat dikreasikan menjadi wadah vertical garden (sumber: dokumentasi pribadi)
Sewaktu mengamati keberadaan vertical garden demikian, saya sempat merenungkan satu hal. Apakah vertical garden tersebut dibikin hanya sekadar untuk "hiasan" saja? Bisa saja. Sebab, masyarakat barangkali telah jenuh melihat lingkungan yang itu-itu saja. Sebuah lingkungan yang hanya tersusun atas beton dan aspal. Nyaris tak ada unsur alami dalamnya. Makanya, kemudian masyarakat berinisiatif menciptakan kondisi lingkungan yang jauh lebih asri.

Satu cara untuk mewujudkan keinginan tersebut ialah vertical garden. Maklum saja, vertical garden ialah sistem berkebun yang paling tepat untuk masyarakat perkotaan. Pasalnya, sistem tersebut memaksimalkan ruang yang terbatas di kota-kota besar. Makanya, jangan heran kemudian sistem tersebut menjadi populer di masyarakat urban. Sejak terjadi "demam" urban farming beberapa tahun lalu, kita sering menjumpai pemilik rumah yang menghiasi kediamannya dengan vertical garden. Lahan yang sedemikian sempit tidak lagi menjadi halangan untuk menikmati "seni" berkebun.

Namun demikian, yang menjadi persoalan ialah apakah itu hanya sebuah tren sesaat, seperti popularitas batu akik beberapa tahun lalu, atau telah menjadi suatu gaya hidup yang terus dilaksanakan sampai saat ini? Pertanyaan itu tentunya butuh kajian yang dalam dan aktual.

Saya tidak akan menjawabnya secara langsung. Namun, berdasarkan pengamatan, saya mengamati bahwa masih cukup jarang tetangga di sekitar rumah saya yang punya hobi berkebun dan punya vertical garden di rumahnya. Hal itu tentunya menunjukkan bahwa vertical garden belum menjadi bagian seutuhnya dalam sendi masyarakat kota.

Saya tidak tahu penyebabnya, tapi berdasarkan pengalaman pribadi, yang dulunya "sempat" hobi berkebun, setidaknya saya "memetakan" tiga buah alasan seseorang enggan berkebun di rumahnya.

Terlalu Sibuk untuk Merawat Tanaman

Hal itu tentu bisa dimaklumi. Pasalnya, masyarakat perkotaan mayoritas menghabiskan waktunya untuk pekerjaan. Sejak pagi-pagi benar, mereka sudah berangkat bekerja, dan baru kembali pada sore atau bahkan malam hari. Hal itulah yang membikin masyarakat kota merasa "segan" memelihara tanaman karena waktu yang tersedia sangat sedikit. Akhirnya, alih-alih terpikir berkebun di rumah, waktu luang yang ada justru dilakukan untuk kegiatan lain, seperti liburan atau istirahat, setelah lelah bekerja sepanjang hari.

Serangan Hama yang Bikin Rugi

Walaupun kita tinggal di kota, bukan berarti lahan yang ditinggali bebas dari hama. Buktinya, setelah mencoba berkebun di rumah, saya malah sering mengalami rugi karena tanaman yang sudah dirawat berhari-hari "ludes" dimakan tikus dalam semalam dan itu terjadi beberapa kali sewaktu saya masih aktif berkebun. Hal itu jelas menyebabkan kerugian berupa uang dan waktu. Makanya, setelah berulang-ulang dirusak tikus, saya akhirnya menyudahi hobi saya.

Belum Banyak Gerakan Urban Farming di Kalangan Anak Muda

Berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya, masih sedikit kalangan muda yang tergerak melaksanakan urban farming. Makanya, jangan heran sewaktu saya membudayakan hal tersebut di sekitar rumah, saya sering mendapat "pandangan remeh" dari orang lain.

Hal itu tentunya bisa dimaklumi. Sebab, masyarakat umumnya punya stereotif kalau berkebun ialah kegiatan yang hanya dilakukan oleh orangtua, bukannya anak muda. Oleh sebab itu, kalau ada anak muda yang "gandrung" berkebun, masyarakat justru menganggapnya "aneh", seperti yang saya alami. Hahahahahahahahahaha.

Jadi, untuk mengubah stereotif itu, sebetulnya kita membutuhkan satu gerakan urban farming di kalangan anak muda. Bukankah kalau beraksi bersama-sama, kita menjadi lebih termotivasi dan percaya diri?

Bagi saya, berkebun itu bukan cuma sarana untuk melepas stres dari rutinitas, melainkan juga belajar mencintai kehidupan. Ada beberapa pelajaran hidup yang sempat saya petik sewaktu saya dulu aktif berkebun, seperti kesabaran, keikhlasan, dan keberanian.

vertical garden yang saya buat dan pelihara beberapa tahun lalu (sumber: dokumentasi pribadi)
vertical garden yang saya buat dan pelihara beberapa tahun lalu (sumber: dokumentasi pribadi)
Biarpun belum mulai kembali, sudah ada niat kuat dalam diri saya untuk berkebun pada tahun ini sehingga urban farming tak hanya menjadi tren sesaat, tetapi gaya hidup yang terus dilestarikan.

Salam.

Adica Wirawan, founder of Gerairasa.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun