Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Pada Tahun 2018, "Tsunami Fintech" di Tanah Air akan Berlanjut?

11 Desember 2017   09:41 Diperbarui: 11 Desember 2017   09:46 1230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
para narasumber dalam acara workshop entrepreneurship di menara bank Danamon (sumber: dokumentasi pribadi)

Sewaktu saya datang menghadiri acara workshop entrepreneurship di Menara Bank Danamon pada hari Kamis lalu, saya duduk di belakang seorang bapak berbaju kotak-kotak biru, bercelana jeans krem, dan bersepatu sket hitam. 

Wajahnya terasa familiar, tetapi saya agak lupa namanya. Dalam acara itu, dia duduk dengan tenang, tidak banyak berbicara dengan orang di sebelahnya. Namun demikian, matanya tampak sibuk menyusuri ruang acara tersebut.

Saat saya sedang mengamatinya, tiba-tiba seorang bapak lainnya datang dan duduk di sebelah saya. Dia terlihat jauh lebih muda daripada bapak tadi. Penampilannya pun berbeda karena dia mengenakan kacamata berbingkai tebal, memakai jas abu-abu, dan sepatu cokelat kasual. 

Sesekali matanya asyik menatapi layar smartphone dan jempolnya terampil "menari" di atas keyboardnya.

Tidak lama kemudian, Pak Aji, selaku moderator, maju membuka acara. Dengan iringan tepuk tangan hadirin, Pak Aji memanggil narasumber. Kedua bapak yang tadi saya sebutkan kemudian maju ke panggung. Ternyata merekalah yang akan berbagi "kebijaksanaan" di depan forum itu.

Setelah diperkenalkan, saya jadi tahu bahwa bapak yang berbaju kotak-kotak tadi adalah Adrian Gunadi, pendiri perusahaan Investree. Sementara itu, bapak yang mengenakan jas abu-abu ialah Marshall Pribadi, pendiri Privy.id. Keduanya duduk menceritakan pengalaman mereka sewaktu merintis usaha, sekaligus membuka mata hadirin tentang perkembangan dunia digital di Indonesia.

Adrian Gunadi, pendiri investree, menyampaikan pengalamannya dalam dunia fintech (sumber: dokumentasi pribadi)
Adrian Gunadi, pendiri investree, menyampaikan pengalamannya dalam dunia fintech (sumber: dokumentasi pribadi)
Pak Adrian mendapat kesempatan berbicara terlebih dulu. Awalnya dia menceritakan perusahaannya, yaitu Investree. Investree adalah sebuah perusahaan fintech, yang menggunakan konsep peer to peer lending. Investree berfungsi sebagai marketplace, seperti tokopedia dan bukalapak. 

Hanya bedanya, Investree menjadi "wadah" khusus untuk para kreditur dan debitur. Makanya, semua transaksi yang terjadi di Investree berfokus pada soal utang-piutang.

Cara kerjanya pun sederhana. Andaikan kita mempunyai uang yang "menganggur" di bank, kita bisa menginvestasikannya di Investree. Nantinya uang tersebut akan disalurkan kepada kreditur yang membutuhkan dana dengan imbal balik yang ditetapkan oleh kreditur.

Namun, ada pertanyaan. Bukankah kita sama sekali tidak mengenal kreditur tersebut? Bagaimana kalau dia gagal melunasi utangnya? Pak Adrian menjawab bahwa kekhawatiran itu bisa diatasi karena tim manajemennya akan melakukan seleksi terlebih dulu. 

Jadi, tidak semua orang bisa meminjam dana lewat Investree sebab mereka harus memenuhi syarat yang ditetapkan.

Satu syarat tersebut adalah adanya tagihan. Jadi, kalau kita punya tagihan yang belum dibayarkan pihak lain, sementara kita sedang butuh dana untuk modal kerja berikutnya, kita bisa mengajukan pinjaman lewat Investree. 

Nantinya, setelah tagihan itu dilunasi, kita bisa membayar utang kepada kreditur sesuai tenggat waktu dan bunga yang sudah dijanjikan sebelumnya.

Makanya, kalau berinvestasi lewat Investree, debitur akan memperoleh bunga yang jauh lebih tinggi daripada deposito bank, serta minim risiko karena semua risiko sudah berusaha diminimalkan oleh manajemen. Dalam usianya yang baru dua tahunan, Pak Adrian mengaku mendapat sejumlah tantangan dalam membesarkan perusahaannya.

Satu persoalan yang sering dihadapinya ialah minimnya literasi finansial di masyarakat. Makanya, Pak Adrian sering sulit meyakinkan debitur agar mau berinvestasi lewat Investree. Hal itu tentu dapat dimaklumi. Sebab, literasi keuangan di masyarakat masih rendah.

Pernah saya menghadiri sebuah acara diskusi bersama Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Di situ, Bapak Samsu Adi Nugroho, selaku sekretaris LPS, hadir memaparkan fakta yang unik. 

Berdasarkan data yang diperolehnya, masyarakat Indonesia ternyata masih sering menyimpan uangnya di bawah kasur alih-alih di bank. Kalau mayoritas saja masih enggan menabungkan uangnya di bank, bagaimana masyarakat bisa "tergoda" menanamkan dananya di perusahaan fintech?

Makanya, jangan heran kalau masih sedikit orang yang berinvestasi di perusahaan fintech, seperti Investree. Padahal, kalau kita "berkaca" dengan industri keuangan di luar negeri, konsep peer to peer lending yang diusung oleh Investree sebetulnya sudah muncul sejak tahun 2008, tatkala terjadi "tsunami" ekonomi di Amerika dan Eropa. Jadi, kita masih "tertinggal" hampir sepuluh tahun dalam urusan financial technology.

Marshall Pribadi, pendiri Privy.id, membahas teknologi tanda tangan digital (sumber: dokumentasi pribadi)
Marshall Pribadi, pendiri Privy.id, membahas teknologi tanda tangan digital (sumber: dokumentasi pribadi)
Pembicara berikutnya, Marshall Pribadi, menyampaikan konsep yang unik tentang tanda tangan digital. Lewat uraiannya yang sangat "teknis", saya menangkap bahwa tanda tangan ternyata bisa menimbulkan suatu persoalan. 

Sebab, tanda tangan bisa dimanipulasi untuk kejahatan. Apalagi dengan berkembangnya teknologi seperti saat ini, tanda tangan yang dibuat bisa diubah dan dimodifikasi sesuka hati untuk sejumlah kepentingan.

Makanya, Marshall kemudian mendirikan Privy.id, sebuah perusahaan yang menyediakan jasa pembuatan tanda tangan digital, yang sukar "diotak-atik". Bagaimana caranya? Asymmetrical cryptography.

Dalam layanan pembuatan tanda tangan digital, Privy.id menerapkan sistem asymmetrical cryptography. Kemudian, apa itu asymmetrical cryptography? Seperti dikutip dari wikipedia, asymmetrical cryptography adalah "any cryptographic system that uses pairs of keys: public keys which may be disseminated widely, and private keys which are known only to the owner."

Bingung? Baiklah. Akan saya sederhanakan. Izinkan saya menjelaskannya lewat ilustrasi berikut. Andaikan saja kita punya sebuah dokumen penting berbentuk file. Untuk menjaga kerahasiaan isinya, kita mengunci dokumen itu dengan kata sandi milik kita. 

Kita kemudian berniat mengirim dokumen itu ke orang lain lewat email. Namun karena hanya ada satu kata sandi, kita secara otomatis akan memberi tahunya kepada orang tersebut agar dia bisa membuka dokumen itu.

Nah, hal itu tentu berisiko karena kata sandi itu bisa "bocor" sehingga semua orang dapat mengetahuinya. Bisa saja, ada orang yang "iseng" menyebarkannya di grup wa. Nah, kalau menggunakan asymmetrical cryptography, kita bisa mengantisipasi "kebocoran" itu. Sebab, kita dan orang lain punya kunci yang berbeda.

Jadi, sewaktu kita mengunci dokumen itu, lalu mengirimnya kepada orang lain, orang lain tidak perlu meminta kata sandi kita, karena dia punya kunci lain yang bisa digunakan untuk mengakses dokumen itu. 

Dengan demikian, dua kunci yang berbeda bisa membuka dokumen yang sama. (Sampai di sini, semoga Anda jelas. Jika belum, silakan telusuri informasi seputar kinerja asymmetrical cryptography di google. Hehehehehe).

Marshall kemudian menjelaskan bahwa sistem itu mempunyai sejumlah kegunaan. Misalnya saja, pada saat kita mengajukan kredit di bank, kita tak perlu repot-repot datang ke bank untuk melakukan tanda tangan. Sebab, tanda tangan bisa dilakukan lewat aplikasi dan terjamin keamanannya. Hal itu tentu saja menghemat lebih banyak waktu, biaya, dan kertas.

Juga, sewaktu kita akan mengumpulkan tanda tangan dari sejumlah orang yang berbeda, misalnya, kita bisa memakai layanan itu. Biarpun orang tersebut berada di luar kota, mereka bisa menandatangani dokumen itu secara real time sehingga kita tidak perlu menunggu mereka terlalu lama. 

(Sepertinya mahasiswa yang ingin minta tanda tangan dari dosen pembimbing membutuhkan layanan ini. Hahahahahahahahahahaha) Singkatnya, layanan yang ditawarkan Privy.id memangkas lebih banyak prosedur yang bertele-tele.

Setelah selesai menyimak "kebijaksanaan" dari kedua wirausahawan itu, mata saya menjadi terbuka lebar bahwa "revolusi digital", khususnya di bidang keuangan, sudah dimulai. 

Dengan melihat perkembangan infrastruktur dan ekosistem digital yang terus bertumbuh di masyarakat, bisa jadi, pada tahun 2018, akan muncul "pemain-pemain baru" dalam bidang financial technology dengan keunikan layanan, seperti Investree dan Privy.id. Oleh sebab itu, kita tunggu saja lanjutan dari gelombang "tsunami" fintech yang sudah terjadi sejak beberapa tahun lalu di tanah air.

Salam.

Adica Wirawan, founder of Gerairasa.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun